Quantcast
Channel: wayangprabu.com
Viewing all articles
Browse latest Browse all 67

Ramayana [19]

$
0
0

Rahwana vs Arjunasasrabahu

Terbujur lemas Sang Prabu, rebah di atas tanah lembab hutan. Mulai dirasakan betapa lemah fisiknya, lebih-lebih lagi jiwanya tlah carut marut seolah tiada wujudnya lagi. Lelah fisik dan jiwa menanggung beban berat dan derita yang disandangnya membuat dirinya seakan tanpa daya sama sekali. Hingga akhirnya tanpa disadarinya, tertidur Sang Harjuna Sasrabahu di tengah hutan itu berkasur daun-daun kering dan berselimut gelap malam.

Lelah fisik dan jiwanya membuat tidurnya bak orang mati saja. Sungguh kasihan sekali keadaan Sang Prabu. Beberapa hari yang lalu, dirinya masih menjadi seorang raja dari sebuah negara besar bernama Maespati. Dirinya masih menduduki singgasana yang megah di dampingi oleh dua patihnya yang sangat dipercayainya, Patih Suwanda dan Patih Surata. Juga betapa bahagianya dia memiliki permaisuri Dewi Citrawati yang begitu jelita lahir dan batinnya. Sepertinya bahagia dan kesenanganlah yang selalu melingkupi sepanjang hari-harinya. Sepertinya tiada pernah susah dan nestapa tiada pernah mengunjunginya.

Namun itulah dunia ! Itulah ke-fana-an ! Segalanya berubah hanya dalam hitungan hari. Senang berubah menjadi sedih, bahagia berganti menjadi nestapa. Bak cakra manggilingan yang terus berputar, kini posisinya berada di bawah ! Dirinya menjadi pecundang. Segala yang dimiliki, dicintai dan dikasihi, hilang musnah tiada bersisa. Benarkah selama ini dirinya telah beroleh kebahagiaan sejati ?

Kesenangan-kesenangan dalam bentuk apapun di dunia ini pasti tidak abadi, tidak langgeng dan bersifat fana. Kesenangan ibarat gelembung-gelembung air sabun yang terbang mengangkasa dan tidak lama kemudian pecah, hilang dan musnah begitu saja. Kesenangan adalah output dari nafsu yang kemudian menimbulkan ikatan-ikatan dengan sumber kesenangan itu. Pabila suatu saat kesenangan itu dipisahkan dan direnggut dari kita, seolah yang kita rasakan begitu kehilangan karena ikatan-ikatan itu terlepas dan memudar. Dan perasaan duka kemudian menghinggapi diri.

Hidup ini penuh dengan kedukaan yang kerap muncul akibat dari kekecewaan, rasa iba diri, kemarahan, kebencian, iri hati, permusuhan dan dendam membara. Pada saat itu kemudian kita merindukan apa yang dinamakan sebagai BAHAGIA. Namun sayang sungguh sayang, kita sering salah mengenalinya bahwa kesenangan sama halnya dengan kebahagiaan. Bahwa mencari kesenangan itu sama halnya dengan mencari kebahagiaan.

Kesenangan, tidak lain hanyalah saudara kembar dari kesusahan belaka. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, ibarat sebuah keping mata uang dengan gambar di depan dan di belakang, berbeda gambar dan citranya, namun masih dalam satu tempat yang sama. Pabila kita mencoba menutupi kedukaan dengan kesenangan, maka tentu saja kemudian akan menuai hal yang sama. Kan kembali terulang, karna niscaya kemudian kesenangan bakal berubah menjadi kesusahan lagi. Kesusahan ditutupi dengan kesenangan, kesusahan dihilangkan dengan kesenangan, itulah yang kerap kita lakukan. Pekerjaan sia-sia dilakukan sepanjang hidup … hanya karena ketidaktahuan semata.

Hal yang dicari sebenarnya adalah BAHAGIA. Bahagia sungguh sangat jauh berbeda dengan kesenangan. Bahagia tidak ada kebalikannya. Kebahagiaan jauh di atas jangkauan suka dan duka, susah senang. Bahagia adalah milik dari Yang Menciptakannya. Bahagia adalah pabila kita selalu berdekatan dan bercinta denganNYA. Bahagia adalah pabila kita mengenalNYA dan kemudian menyerahkan segala urusan kepadaNYA.

<<< ooo >>>

Dalam lelap tidur Sang Harjuna Sasrabahu, Sang Nata bermimpi dikunjungi oleh Sang Kanekaputra. Dengan lembut dan penuh kasih dia bertutur

“Ngger cucuku janganlah jiwamu terus dalam kenelangsaan. Semua yang telah engkau terima, sejatinya juga lumrah disandang oleh semua makhluk. Semua yang engkau katakan tentang kedukaan dan ketidakadilan, sebenarnyalah semua makhluk pasti pernah mengalaminya saat dirinya mengalami kedukaan dan merasa diperlakukan tidak adil. Keadilan bagi siapa ? Keadilan oleh Siapa ? Luaskan hatimu untuk menerima itu semua dengan penalaran yang terang, sebab pabila pikiran dan hatimu dipenuhi oleh rasa duka dan nestapa yang seolah menghancurkan hidupmu, maka akan buntulah nalar dan hatimu. Dirimu bertanya mengapa hidup tak berpihak padamu. Dalam pemikiranmu, selama ini engkau telah melakukan kebajikan yang tiada putusnya dan seolah tiada pernah alpa dan kilaf engkau lakukan. Namun apakah memang benar demikian ? Maka carilah dengan hati dan jiwa jernihmu untuk menemukan keadilan dan kebahagiaan sejati yang engkau dambakan. Ngger cucuku, engkau tengah dikungkung dan dikangkangi oleh angan-anagan, budi pekerti dan panca indramu !”

Dalam mimpi itu, Sang Prabu langsung bangkit tersadarkan. Dia merasakan seolah dirinya berada di dalam alam maya. Didepannya masih berdiri Sang Kanekaputra, saat dipalingkan mukanya ke kiri, Sang Prabu sangat terkejut karena dilihatnya ada sosk berwujud raksasa yang tengah tertidur dengan berselimut daun-daun kering dan berbantal akar-akar pohon.

“Sinten punika Pukulun, wujud diyu ingkang tilem kepati akekemul sarah?“ bertanya Sang Prabu.

“Ya sira iku! Iku wujuding ragamu! “ Sang Kanekaputra memberi penjelasan.

“Sanes Pukulun, kula menika awujud satriya, dede wujud rasaksa bekasakan! “ Bantah Sang Prabu.

“Miturut panganggepmu pancene mangkana. Nanging apa kang sira dulu saiki, iku sawijining bab kang nyata, ngger wayah ulun! Raga kang gumletak ing siti, kuwi nyata wewujudanmu!”

“Adhuh Pukulun, baya punapa ingkang sinandang ing titah paduka? Kawula keparanga miterang awit saking cubluk kuthunging manah, amargi kasepen ing tepa palupi” semakin perih rasa di hatinya Prabu Harjuna Sasrabahu yang menyaksikan wujud sejati raganya.

“Matura marang jeneng ulun, sepira cacahing rampadan kang wus sira dhahar, saka wiwit leking jabang bayi nganti tekan seprene? Coba matura, pirang gantang banyu kang wus sira inum? Pira dawane panganggon kang wus sira agem, saka sira wujud jabang bayi nganti saprene. Pitakonku, mesti bisa kita jawab kanti gampang”.

Mendengar perkataan Hyang Kaneka, Prabu Harjuna Sasra seketika berdiam diri mencoba mencerna maksud dari pertanyaan itu. Kalaupun bakal dijawab tentu dia tidak akan mampu untuk menjawab secara tepat untuk menghitung apa yang selama ini telah dinikmatinya. Kemudian dengan penuh rasa malu Sang Harjuna Sasra berkata

“Duh pukulun, kula mboten saged ngenget, temtumipun kathah cacahipun tanpa wilangan. Yen ta kagunggunga, kathahipun saged angungkuli cacah wewangunan lumbung ingkang wonten ing praja Maespati. Yen ta ginuggung kathahing toya ingkang sampun inginum, sadaya bengawan ing Nagari Maespati temtu mboten saged ngembari. Yen ta ginunggung kathaing sinjang ingkang sampun kula angge, wiyaripun sampun kuwawa angemuli tlatah Nagari Maespati. Ooh pukulun, punapa wonten gandeng cenengipun kaliyan ingkang kula tindakaken?”

“Ingsun wus ngandika, yenta sira nggugat lumantar wenganing atimu, kuwi gugat kang amung lumantar angen-angening pancaindriya. Mestine sira ngarep arep lamun kabecikan kang winangun saka angen angen kuwi bakal mikolehi ganjaran. Apa kang sira arep-arep, tibake nora mikolehi, malah sira rumangsa siniya siya. Saiki pangangen-angenmu nggugat!.

“Lajeng punapa ingkang kedah kula lampahi dhuh Pukulun?”

“Rabuken rasa pangestimu marang panembah jati. Iku dadi tanda-tanda yen sira lumaku tumuju marang temuning kabagjan!”

Direnungkan apa yang telah didengarnya tadi. Sungguh meresap dalam hati apa yang telah disabdakan oleh Hyang Naradda. Dengan sangat berhati-hati kemudian Sri Harjuna Sasra meminta pencerahan karena masih ada beberapa bab yang mengganjal di hatinya.

“Cahyaning kabagjan, kenging punapa paduka paring cecoban aceceda dumateng titah paduka Pukulun?”

“Babar pisan ulun ora nyeceda marang jeneng para, ulun tumemen! Mara tilingana, urip iki mapan ing rasa lan jumeneng ing singangsana atimu. Yen ta sira nandang sungkawa, urip nggepok rasa-pangrasamu. Kosok baline, yenta sira ngrasa gumbira, rasa-pangrasamu saya ngadohi. Mula nora luput ujaring sarjana sujaneng budi, lamun Jawata Agung tansah ginggang kalawan pawongan kang wuru jroning kamulyan. Jeneng sira saiki lagi nandhang susah, lan sira nyatanye nyedak lan Jawata Agung, iya apa iya ngger?”

“Inggih leres pangandika paduka pukulun. Nanging ing pundi dunung sejatining kabahagyan? Babar pisan titah paduka mboten rumaos begja”.


Filed under: Cerita Ramayana, Critaku Tagged: ramayana

Viewing all articles
Browse latest Browse all 67