Mendengar tewasnya Patih Suwanda yang begitu dibanggakan dan dicintainya, Sang Prabu Harjuna Sasrabahu terluka hatinya. Maka segera dia turun tangan sendiri untuk menghadapi Sang Angkara Murka raja Ngalengkadiraja. Kemarahannya terhadap perbuatan Rahwanaraja yang bertindak semaunya sendiri tanpa peduli tata susila dan tanpa berperikemanusiaan, membuatnya triwikrama. Badannya meraksasa seperti gunung menjulang tinggi.
Triwikramalah Sang Prabu ! Dengan mudahnya dikejar dan ditangkapnya Raja Alengka, kemudian diikat dan diseret di belakang kereta. Prabu Dasamuka hanya mampu merintih dan meraung kesakitan sepanjang jalan.
Nun di tempat terpisah, Kalamarica, abdi kinasih Rahwana raja, melihat gustinya tertangkap, seketika muncul rekadaya untuk membalas tindakan Raja Maespati itu terhadap gustinya. Kalamarica adalah seorang raksasa yang sakti dan pintar, namun kepintarannya itu sering dimanfaatkan untuk merekayasa perbuatan yang curang dan penuh tipudaya. Maka dengan kesaktiannya, segera dia menuju Taman Sriwedari dengan menyamar sebagai seorang prajurit Maespati yang terluka. Diberitakannya kepada para abdi emban yang melayani Dewi Citrawati, bahwa Sang Prabu Harjuna Sasrabahu telah tewas di pertempuran dan juga sebentar lagi Sang Rahwana Raja akan segera menuju taman untuk mengambil dengan paksa Sang Dewi untuk dijadikan tawanan dan sekaligus akan diperistrinya.
Maka mengetahui kabar yang sangat penting itu, kemudian Kalamarica dihadapkan kepada Dewi Citrawati. Dengan badan yang penuh dengan darah karna terluka dan seolah menahan sakit sehingga suaranya terputus-putus, mengadulah Kalamarica
“Dhuh Kusuma Dewi sesembahan kawula! Jagad sampun mangertosi manapa ta ingkang ingaran tiyang ingkang dados bebandan. Pakarti menapa ingkang badhe kasandhang dening Paduka Sang Kusuma Dewi, menawi Prabu Rahwana manjing salebeting Taman Sriwedari. Paduka Kusuma Dewi pinasthi badhe kapatrapan tindak siya, kadi dene putri tetelukan. Mboten saged kagambaraken, nestapa ingkang badhe sinandhang ing paduka mangke!”
“Duh Kusuma Dewi sesembahan hamba ! Jagad telah menyaksikan bagaimana nasibnya orang yang menjadi tawanan. Perlakuan apa yang akan diterima terhadap paduka Kusuma Dewi, pabila nanti Prabu Rahwana telah berada di dalam Taman Sriwedari ini. Paduka akan menerima perlakuan yang sangat buruk, seperti halnya putri taklukan. Tak terbayangkan, nista dan nestapa yang akan paduka alami”
Dan setelah kata terakhir itu terucap, prajurit itu roboh meregang seolah nyawa hendak melayang. Melihat pemandangan seperti itu, Sang Dewi terkecoh dan menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Kata-kata prajurit tadi begitu menakutkan dirinya. Dibayangkan tidak lama lagi Rahwana Raja kan datang ke taman dan kemudian apa yang dikatakan prajurit itu, bakal terjadi. Tlah di dengarnya bagaimana kejamnya perilaku Raja Ngalengka terhadap siapa saja yang melawannya. Dia tidak ingin tubuh dan jiwanya kelak menderita di bawah kekuasaan Rahwana. Mimpi pun tidak ! Maka tanpa berfikir panjang, di terima mentah-mentah “drama” yang dilakukan oleh Kalamarica, si prajurit terluka. Dan akhirnya tlah bulatlah tekadnya, segera diambil patrem, keris kecil, tanpa ragu dihunus dan ditusukkan ke dada. Robohlah Sang Dewi bermandikan darah diiringi nyawa melayang keluar dari raganya. Seolah seperti diperintah, puluhan embanpun melakukan hal serupa yang dilakukan gustinya.
Geger Taman Sriwedari !
Dan di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu, tiba-tiba Kalamarica bangun dan tertawa terbahak-bahak. Puas rasa hatinya menyaksikan hasil kerjanya. Segera dia enyah dari taman untuk kembali menemui gustinya Rahwana raja.
<<< ooo >>>
Sungguh mengenaskan keadaan Sang Rahwana. Dirinya tak mampu berbuat apa-apa seolah kesaktian yang disombongkan tanpa tanding selama ini, kali ini hilang musnah di hadapan Sang Harjuna Sasrabahu. Dan dengan tak tahu malu, ditunjukan jiwa kerdilnya dengan melolong meminta untuk segera dilepaskan dari siksa dan deritanya. Lolongannya sungguh menyayat hati karena memang tubuhnya sakit tiada terperi. Jerit kesakitannya keras membahana bak memecahkan jagad saja. Keadaan yang mengenaskan Rahwana Raja serta ratapannya tak luput dari pendengaran Resi Pulasta. Dengan segera kemudian Resi Pulasta, datang ke hadapan Sang Harjuna Sasrabahu untuk memintakan maaf atas polah cucunya yang berani menyerbu dan merusak negri Maespati.
Raja Maespati memang memiliki budi yang luhur, sehingga dengan jiwa yang tulus kemudian dimaafkanlah Rahwana Raja dan dilepaskannya raja Alengka itu dengan perjanjian agar Rahwana Raja bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatan yang merusak jagat dengan kesombongan dan kesaktiannya.
Kemudian dengan kesedihan yang mendalam, di bakarlah jasad Patihnya Suwanda yang terbunuh saat melawan Dasamuka. Patih yang menjadi tangan kanannya itu telah menjalani kesempurnaan hidup untuk segera kembali ke tempat asalnya. Bagaimanapun, telah diikhlaskannya kematiannya sebagai suatu kehendak Sang Hyang Maha Agung.
Namun cobaan dan derita seolah berentetan menimpa Sang Harjuna Sasrabahu. Saat hendak menemui istrinya ke Taman Sriwedari, disaksikan tubuh bergelimpangan para emban pengasuh yang telah menjadi mayat. Dan di antara tubuh-tubuh mati itu, terlihat tubuh kekasih hatinya Dewi Citrawati yang bernasib sama. Sungguh terkejut bukan main Sang Narendra ! Sungguh seolah tak percaya atas apa yang disaksikannya itu ! Sungguh jantungnya bak ditusuk ribuan tombak tajam menyaksikan itu semua ! Diam seribu bahasa Sang Nata, tak ada satu katapun terucap.
Tak terasa air mata kesedihan menetes di pipinya. Seolah dunia telah membelah dan menelan raganya, seakan langit tlah runtuh menimpa dirinya. Gelap semua gelap. Kelam hanya kelam yang ada dalam jiwanya. Hampa … dan hanya hampa yang kini dirasakan. Betapa berat cobaan hidup yang dialami kini. Bertubi-tubi datangnya … dan sangat berat !
Beberapa saat lamanya Sang Prabu berdiri dalam diam laksana patung. Fisiknya berdiri diam namun jiwanya begitu bergolak tak terkendali. Akhirnya dengan tekad yang tlah tertancap, kemudian Sang Prabu menukar busana keprabon dan meninggalkan kerajaan tanpa diketahui oleh seorangpun, termasuk juga patih Surata, patih jero (dalam kraton).
Sumedhot rasa jroning nala, suku mecak mbaka sajangkah tilar puraya. Surem jagadira sang Prabu kaya dene kalimput pedhut angendanu. Rengganing Purayagung kang asri wus sesawang bosah basih, datan ana sajuga wewangunan kang maksih wutuh. Negara kang kerta lan raharja, bebasan tan ana tabete, tumpes keles kaya ketaman sindhung riwut bayu bajra. Lumaksana ing tilas papan paprangan kang wus sepi sepa, kanthi sarira kang kaya linolosan otot bebayune. Kang ana ing sasawanganiara, amung katingal para prajurit kang pating blasah kaya babatan pacing. Ana kang maksih nandang katriwandhan sesambat angaruara. Jroning nala Sang Prabu tetanya, kanggo sapa sejatine para prajurit kang bebela pati?
Saya rikat lampahe Prabu Harjuna Sasra kaya sinengka. Ing ngarsanira wus katon anjegreg wukir kang malela. Tuwuh krenteg lamun ing gunung kae, kena kinarya pangungsen tamba masguling nala. Tinilar sesawangan edi pasawahan kang reja, kang sakala ilang musna gumanti swasana nggegirisi saka kehing bebathang sabab saka paprangan kang nembe lerem.
Jroning dalu, lungkrahing raga kasendhekake ing kakayon. Netra katutup, sandeyane, rasa arsa linereman. Nanging rasa kumrangsang saka gempaling driya, tan widagda ngampah duhkita. Malumpat njegreg, muwus sora Sang Sri Harjuna Sasrabahu.
“Heh srenggala, sardula, naga, raseksa, utawa kabeh bangsaning eblis siluman kang mbaureksa ing kene! Tilingana, rungokna pamuwusku! Ampyaken kaya wong njala, krubuten aku kaya menjangan mati! Ora ana gunane aku ndedawa urip. Karana amung siksa kang sinandhangan! Manawa jeneng ingsun kang luput, jlentrehana apa sedya kang mesthi ingsun gayuh? Garwaningsun Citrawati wus nemahi tiwas saka kejeming prang. Patih kang tak kacaket wus kasambut ing rana. Negaraku remuk rempu karana drenging paprangan. Perang . . . . . karana ngapa mesti kaleksanan ngrabasa Maespati”.
Kaya dene sato galak kang kapikut, nggero jroning nala, njola kaya patrape singa barong. Tan ana sajuga tetali kang kuwawa medhot hardaning rasa. Wekasan sang Prabu nglumpruk datanpa daya lan pasrah marang kang murbeng dumadi.
Filed under: Cerita Ramayana, Critaku Tagged: dasamuka, ramayana