“Orang yang hatinya tlah teguh memegang prinsip panembah jati, pastinya akan berusaha untuk mendekatkan diri kepada yang disembahnya setiap saat. Siapapun yang mendekatkan diri kepadaNYA maka niscaya bakal didekati oleh NYA. Engkau melangkah setapak, Sesembahanmu melangkah mendekatimu lima langkah. Engkau merapat lima tindak, Sesembahanmu bakal melakukannya jauh lebih banyak lagi. Aku jauh Engkau jauh, aku dekat Engkau dekat. Itulah yang disebut kebahagiaan”
“Terus apa yang disebut cahaya tadi ?”
“Cahya itu yang disebut sebagai pepadhang (penerang, petunjuk) yang sejati. Kelak engkau akan mengerti hal itu”
“Apakah Sesembahan hamba berkenan bertahta di hati titah paduka, Pukulun?”
“Lebih dari itu ngger, pabila Sesembahanmu berkenan, engkau malah akan memperoleh lebih dari itu. Engkau mungkin malah memperoleh apa yang disebut sebagai wahyu”
“Wahyu ? Apa lagi yang disebut wahyu itu ? Sampai dengan saat ini, tidak ada terbersit keinginan ataupun hasrat untuk memperoleh wahyu kemulyaan jagat. Semua yang aku cintai telah meninggalkan diriku”
“Wahyu, ada kalanya berwujud pitutur sejati. Pitutur sejati itulah yang akan menjadi sarana dirimu kembali kepada asal muasalmu. Disana, kelak engkau bakal menemukan kemuliaan sejati yang bernama nirwana. Carilah Wisnu ! Ketahuilah, Wisnu sekarang telah lepas dari ragamu. Wisnu berwujud cahya kehidupan yang manunggal bersama Hyang Tunggal. Selama ini engkau memiliki senjata sakti yang tanpa tanding, bahkan engkau tidak mempan terhadap senjata musuh apapun. Namun pabila ada senjata yang mampu menembus dadamu, maka orang yang memiliki senjata itu sesungguhnyalah wujud sejatinya Wisnu !”
Setelah memberikan penjelasan terakhir tadi, seketika hilang musnah wujud Batara Narada di dalam mimpinya. Dan seketika itu pula Sang Narendra terbangun dari tidurnya. Termenung sejenak Sang Harjuna Sasrabahu. Kata-kata Sang Kanekaputra satupun tiada dilupakannya, satupun tiada yang tercecer dari ingatannya. Semua begitu jelas, dan telah jelas pula apa yang harus dilakukannya segera !
Diceritakan, perjalanan Ramaparasu telah sampailan di negri Maespati. Namun betapa kecewanya dia, takala mendengar kabar bahwa Sang Prabu Harjuna Sasrabahu ternyata tidak ada di kerajaan. Kabar yang beredar mengatakan bahwa setelah terjadinya serbuan Dasamuka ke Maespati, Sang Prabu telah meninggalkan istana tanpa seorangpun yang tahu kemana perginya.
Berseliweran kabar yang didengarnya tentang maksud kepergian Sang Narendra yang tanpa seorangpun tahu itu. Sebagian mengatakan bahwa kepergiannya adalah untuk menyerang balik Alengka Diraja seorang diri untuk misi balas dendam. Ada juga yang mengabarkan bahwa kepergian rajanya adalah dalam rangka untuk mencari seorang putri, kembangnya jagat, pengganti istrinya yang telah tewas oleh Dasamuka. Sedangkan informasi yang diterimanya dari sebagian para pandita yang ditemuinya, mengabarkan bahwa Sang Prabu sudah tak berhasrat lagi untuk menikmati manis dan indahnya dunia lagi.
Memang, dalam kehidupan di dunia ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh seseorang, bakal mengundang orang lain untuk ikut turut di dalamnya walaupun hanya sekedar berkomentar, baik hal yang positif maupun yang negatif, baik paham terhadap permasalahan maupun tidak mengerti sama sekali, baik kenal orang yang dikomentari maupun tidak pernah kenal sama sekali. Bukankah pernah ada cerita yang menggambarkan itu semua, demikian :
Suatu hari seorang bapak membeli seekor keledai bersama anaknya di sebuah pasar yang cukup jauh dari rumahnya. Setelah berada di jalan menuju pulang, sang bapak menyuruh anaknya untuk menaiki keledai itu dan sang bapak menuntun disampingnya. Pada suatu tempat di pinggir jalan dimana berkumpul beberapa orang yang sedang duduk-duduk bersantai, lewatlah bapak dan anak beserta keledainya. Pada saat itulah, terdengar bisik-bisik di antara mereka : “Tuh lihat ! Kalau pengin melihat anak yang durhaka dan tak tahu diri. Masak sementara bapaknya kecapekan dan kepanasan berjalan menuntun keledai, eeee ……. dianya malah duduk enak-enakan di atas keledai. Dasar anak kurang ajar !”
Mendengar gunjingan itu, maka kemudian sang bapak meminta sang anak segera turun dan kemudian menggantikan naik ke keledai. Berjalanlah mereka kembali, hingga di pinggir jalan yang lain, kembali mereka melewati sekumpulan ibu-ibu yang sedang ngobrol di sebuah lincak di pinggir jalan. Kembali terdengar suara bisik-bisik diantara mereka : “Lihat ibu-ibu ! Orang mana dia itu ya. Aduh … sungguh seorang ayah yang kejam dan tak menyayangi anak. Masak anaknya disuruh jalan di tengah terik matahari, keringat sampai membasahi muka dan badannya, eee … bapaknya malah duduk santai di atas keledai. Huh … sungguh seorang ayah yang kejam. Untung suamiku tidak begitu sifatnya”
Serba salah bapak dan anak itu ! Maka kemudian, sang bapak menyuruh anaknya untuk naik kembali ke keledai sehingga mereka berdua menunggangi keledai dan melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian mereka memasuki sebuah desa dan kembali melewati sekelompok warga desa yang sedang gotong royong membersihkan got. Seraya memperhatikan yang tengah lewat, diantara mereka terdengar celetukan yang cukup lantang : “Hoi …. Pak ! Apakah sampeyan dan anak sampeyan ndak pernah di ajar budi pekerti di rumah tho ! Peyan ndak punya rasa perikemanusiaan apa ! Masak keledai yang kecil begitu, kalian naikin berdua. Ndak punya perasaan peyan, Pak !”
Semakin bingung bapak dan anak itu mendengar komentar-komentar tentang dirinya. Akhirnya sang Bapak memutuskan untuk keduanya turun dan kemudian menuntun keledai untuk melanjutkan perjalanan pulang. Ketika sudah dekat rumah, oleh tetangganya kemudian disapa dan sekaligus dihadiahi komentar : “Pak Fulan kenapa keledainya dituntun Pak. Bukankah Bapak membeli keledai untuk ditunggangi ?”
Itulah manusia !
<<< ooo >>>
Ramaparasu tidak mempedulikan kabar yang beredar dan berkembang. Disambangi setiap pelosok negri Maespati untuk mencari keberadaan Sang Harjuna Sasrabahu yang dicarinya. Setelah sekian lama mencari dan tiada hasil juga, meskipun dengan rasa kecewa akhirnya diputuskan untuk menghentikan usaha pencarian dan pulang ke bekas pertapaan ayahnya dulu. Dalam hatinya masih berharap untuk kelak mendengar kabar tentang keberadaan Sang Harjuna Sasrabahu. Dia yakin bahwa suatu saat pasti akan dapat bertemu dengan Sang Prabu.
Namun di tengah jalan, keinginannya semula untuk menuju ke pertapaan ayahnya dibatalkannya. Dia berfikir bahwa dengan menetap di pertapaan ayahnya, walaupun hanya sementara, malah berakibat tidak baik. Niscaya bakal kembali muncul bayangan-bayangan masa lalu yang kelam, tentang terbunuhnya sang ayah secara kejam dan kisah duka ibu serta saudara-saudaranya. Maka akhirnya melangkahlah Sang Ramaparasu tak tentu arah dan tujuan hanya mengikuti kata hati, mengikuti langkah kaki kemanapun arahnya.
Suatu saat di tengah perjalanan, dia berhenti sejenak setelah tiga hari lamanya berjalan tiada berhenti. Dalam benaknya kemudian terpikir :
“Hingga detik inipun, aku belum pernah sama sekali sua dengan wujud Prabu Harjuna Sasrabahu. Bagaimana aku bisa mengetahui bila tidak mengenalnya. Apalagi perginya yang tidak di ketahui oleh orang lain, mengindikasikan bahwa dia tidak ingin diketahui keberadaannya oleh siapapun …”
Termangu dia sejenak. Betapa susahnya mengikuti jalan lempang yang tlah ditunjukan melalui mimpinya. Apakah aku harus menyerah ? Tidak ! Tidak akan pernah Ramaparasu menyerah sepanjang hayatnya ! begitu kata hati Ramaparasu yang tengah berusaha untuk membangkitkan semangatnya yang memulai memudar. Betapa tlah jenuh rasanya dia menjalani kehidupan ini. Ingin segera diakhirnya. Namun dia yakin bahwa itu semua adalah fragmen kehidupan yang memang harus di jalaninya. Dibutuhkan keyakinan diri dan kemantaban tekad untuk terus mencari dan mencari, slalu mencari.
Lama sekali Ramaparasu diam tanpa bergerak laksana tugu dipinggir jalan yang berdiri kokoh, tegar tak goyah diterpa jaman. Diam fisiknya, bergejolak hatinya. Rasanya tlah lelah dirinya melihat dunia, tlah rindu dirinya kepada kedamaian abadi. Lelah Ramaparasu !
Namun kewaspadaan Ramaparasu tetap terjaga, tiba-tiba dari belakang berdirinya terdengar suara dedaunan kering yang terinjak. Segera Ramaparasu melayang mendekati arah suara itu dan ingin tahu apa atau siapa yang berani mendekat dan mengganggu dirinya.
Filed under: Cerita Ramayana, Critaku Tagged: ramayana