Subandi
Staf pengajar jurusan pedalangan ISI Surakarta
Email : subandi_isi@ymail.com
Puppet show is part of Indonesian culture that teaches good conducts. In Javanese puppet world, Mahabarata story has many times been transformed in puppet plays. Baratayuda Suluhan is one of the episodes of great battle between Kurawa against Pandawa in Kurusetra battlefield, in which Gatutkaca plays role as the commander in chief. The show of Baratayuda series took place in Taman Budaya Jawa Tengah of Surakarta on every Friday Kliwon eves, Javanese date, that has been lasting for almost two years. The shows are based on the puppet maters’ (dalang) point of views so that, sometimes, they seem not in the right order and tend to follow the dalangs’ tastes. Suluhan play is often known as the Dead of Gatutkaca. After the death of Bisma, the knights of Kurawa obeyed Darmayuda’s rule no more. The rule was about war ethics. The battle between Kurawa and Pandawa occurred heroically, severely, cruelly and ruthlessly. They fought nights and days. The most important thing for the commander in chief was how to defeat the enemy and how to kill even when they broke the rule of war. They never stopped fighting. Baratayuda Suluhan is performed at night by using torch or suluh as the lamp. Gatutkaca died as a hero. There are ethics values that can be generated from the battle of Baratayuda Suluhan as the moral values. All characters dying in the battle have ethics judgments according to the perspective of Javanese supporting puppet show.
Kata kunci: pertunjukan wayang, etika , Baratayuda, pahlawan, sanggit
PENDAHULUAN
Melihat seni pertunjukan wayang dengan lakon Baratayuda Suluhan, di samping menyenangkan sehingga menghibur, juga mendapatkan tuntunan. Dalam pertunjukan wayang mengandung nilai estetis yang tinggi karena disuguhi berbagai bentuk seni seperti seni gerak, seni suara, vokal, seni rupa, seni musik yang dapat menyegarkan manusia setelah penat bekerja seharian. Di dalam pertunjukan wayang juga diperoleh filosofi, pendidikan dan etika kebijaksanan hidup. Lakon-lakon wayang dewasa ini sangat beragam sehingga penonton dapat memilih sesuai dengan selera hati.
Pada setiap malam Jumat Kliwon, pada penanggalan Jawa, sejak awal tahun 1999 di pendopo Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta selalu disajikan seni pertunjukan wayang dengan melibatkan dalang-dalang terkenal di seluruh Jawa Tengah. Pergelaran lakon Baratayuda pernah disajikan oleh para dalang seperti Ki Manteb Sudarsono, Ki Purba Asmoro, Ki Widodo. Para dalang telah diprogram secara sistematis untuk membawakan lakon yang ingin dipentaskan. Banyak pendukung dari masing- masing dalang yang sengaja datang ke Taman Budaya Surakarta untuk melihat pertunjukan wayang. Serial lakon Baratyuda pernah disajikan hampir selama dua tahun berturut turut yaitu pada tahun 1999 hingga tahun 2000. Pada bulan Oktober 1999 lakon yang disajikan oleh Ki Sri Joko Raharjo tidak mengambil serial Baratyuda karena bertepatan dengan pelantikan presiden Republik Indonesia. Ceritera lakon mengangkat Jumenengan. Menarik untuk dikaji karena ternyata para dalang mempunyai sanggit, alur lakon yang relatif berbeda antara dalang satu dengan dalang yang lain. Perbedaan sanggit justeru merupakan alat yang bagus untuk melestarikan pertunjukan wayang kulit.
Seni pertunjukan wayang sekarang telah mendapatkan pengakuan international yang berupa A Masterpiece of Oral Intangible Heritage of Humanity dari UNESCO yang berpusat di Paris Perancis pada 7 Nopember 2003 (Suyanto, 2008 : 3, Slamet Suparno 2009 : 138). Seni pertunjukan wayang telah menjadi milik resmi bangsa Indonesia yang berisi nilai-nilai luhur, pendidikan moral filosofis. Perkembangan bentuk pertunjukan sedemikian pesat bahkan ada kecenderungan kearah bisnis hiburan. Menurut Slamet Suparno pertunjukan wayang sekarang cenderung menurun dengan lebih banyak porsi hiburan pada adegan Cangik Limbuk dan Goro-goro (2009 : 154-155.).
Menurut penelitian Soetarno dalam judul ”Dampak Perubahan Sistem Nilai terhadap Pertunjukan Wayang Kulit”(2000: 93-95) disebutkan bahwa para dalang sekarang lebih banyak menekankan porsi hiburan daripada menggarap nilai kehidupan yang wigati. Hiburan penting akan tetapi sebagai sajian seni juga harus memperhatikan tuntunan yang berupa pendidikan moral atau etika. Dalam banyak lakon yang pernah disajikan, nilai-nilai filosofis, pendidikan, moral selalu ditunggu penonton. Dalam penelitian Slamet Suparno(2007 : 183) ternyata penonton laki laki lebih banyak dari penonton perempuan demikian juga penonton orang dewasa lebih banyak daripada penonton anak-anak. Hal itu menunjukan bahwa ada keinginan yang harus dapat diperoleh oleh penonton yang berupa nilai moral untuk memperkaya pengalaman batinnya.
Dalam lakon Baratayuda, sajian pertunjukan wayang juga selalu ditunggu penonton tentang nilai yang ingin dituangkan oleh seorang dalang. Baratayuda Suluhan merupakan salah satu lakon yang baku, berbobot dan menarik, mengandung nilai-nilai etis yang sebenarnya ingin dipertahankan oleh masyarakat melalui pementasan lakon. Permasalahannya adalah bagaimanakah nilai etis dalam lakon Suluhan? Sebagai landasan untuk menganalisis nilai akan digunakan etika kebijaksanan hidup orang Jawa pendukung pertunjukan wayang.
LANDASAN PEMIKIRAN
Pengertian Etika
Etika sering disebut filsafat tingkah laku, filsafat moral, filsafat etis, juga disebut sebagai teori tentang kehidupan yang baik, teori tentang baik dan jahat. Beberapa pengertian yang terkandung antara lain, (1) sebagai pola umum tentang cara hidup,(2) sebagai kumpulan aturan, norma, kode etik, kode moral, (c) sebagai penyelidikan tentang cara-cara hidup yang baik.
Manusia berbuat baik
Manusia hidup harus berbuat baik, harus susila. Terdapat beberapa alasan untuk berbuat baik. Alasanya tersebut adalah (1) karena tujuan untuk memperoleh kebahagiaan, (2) karena dorongan dari kata hati atau suara batinnya, dan (3) karena pada hakikatnya halnya itu adalah baik.
Kriteria Perbuatan Baik
Sehubungan dengan kriteria, terdapat berbagai pandangan, sesuai dengan kriteria yang dianggap baik oleh masing-masing aliran.
Hedonisme
Aliran hedonisme berpendapat bahwa sesuatu yang baik adalah yang menimbulkan kepuasan. Lingkup kepuasan adalah yang menyenangkan pancaindera manusia. Jadi yang baik adalah yang menyenangkan pancaindera.
Utilitarisme
Menurut utilitarisme yang baik adalah apa yang berguna bagi masyarakat. Jadi ukurannya adalah berguna. Jika sekiranya kurang berguna atau kurang berarti bagi masyarakat, maka perbuatan itu dianggap tidak baik.
Vitalisme
Pandangan Vitalisme mengatakan yang baik adalah yang menimbulkan kekuatan dalam hidup manusia. Menurut Vitalisme kekuatan berasal dari faktor fisiko chemis.
Impresionalisme
Menurut pandangan Impresionalisme yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan suara batinnya (hati sanubari ).
Humanisme
Aliran humanisme menyatakan bahwa yang baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia yaitu kemanusiaannya. Manusia bebas untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Ia akan buruk jika pilihannya jatuh pada yang bertentangan dengan kodratnya.
Dogmatisme
Aliran dogmatisme menyatakan bahwa sesuatu perbuatan dianggap baik jika perbuatan dilakukan menurut norma-norma atau aturan tertentu. Setiap manusia dapat memilih sesuai dengan pandangan hidupnya.
Hati Sanubari atau Kata Hati
Tingkah laku merupakan perbuatan yang lebih banyak ditentukan oleh hati sanubari/kata hati. Putusan kata hati/hati sanubari sedikit banyak bergantung pada penerangan yang masuk. Jika penerangan yang masuk benar maka hati sanubari akan mengambil keputusan yang tepat, tetapi jika penerangan yang masuk keliru maka tidak mustahil putusan hati juga salah.
Jika kata hati salah, ditinjau secara subyektif dalam pengertian bagi diri yang bersangkutan, tidaklah buruk. Hati sanubari adalah sesuatu hal yang ada pada diri manusia dan mengatasinya, ada unsur intelektual. Kata Hati berfungsi memberi peringatan sebelum tindakan dilakukan dan memberi penilaian setelah perbuatan selesai dilakukan. Kata Hati selalu bersifat memperingatkan; jangan dilakukan, hati-hatilah, adil, jujur sebelum berbuatan dilakukan. Kata hati memberikan ganjaran atau sanksi setelah perbuatan dilakukan. Kata Hati memberikan putusan terhadap tindakan yang dilakukan. Jika kata hati benar-benar memutuskan maka kata Hati adalah menjalankan kodratnya, yaitu kodrat manusia. Ini berarti perbuatan yang dilakukan sesuai dengan manusia pada umumnya. Jadi tentu saja tidak akan bertentangan dengan kehendak masyarakat. Kondisi masyarakat sekarang mudah berubah akibat dari pengaruh berbagai faktor. Kata Hati perlu mengambil sikap.
Hak dan Kewajiban
Dalam hidup bersama antara manusia sebagai individu dengan masyarakat sering terjadi perbedaann norma sosial yang dianut, perbedaan sikap, perbedaan pandangan. Perbedaan norma sering dapat menyebabkan ketegangan dan konflik. Setiap anggota masyarakat di samping mempunyai tanggung jawab umum juga memiliki tanggung jawab pribadi. Norma-norma hidup bersama mengatur agar tidak terjadi benturan kepentingan. Jika seseorang berbuat salah maka orang lain dapat memutuskan salah dan yang bersalah memperoleh sangsi. Orang yang salah dapat meminta maaf dan memperbaiki perbuatannya. Lain halnya jika perbuatan salah menyangkut nilai moral etik/ kode etik maka orang yang berbuat akan diputuskan menjadi orang yang tidak baik. Putusan tidak baik sama dengan tidak susila. Sangsinya berupa sangsi moral, misalnya kemudian orang dikucilkan dari masyarakatnya. Hukuman yang diterima ternyata lebih berat oleh karena menyangkut seluruh kepribadiannya.
Setiap individu mempunyai hak dalam hubungannya dalam kehidupan masyarakat, namun demikian, individu terikat kewajiban yang harus dilakukan. Hak adalah menjadi tuntutan atau milik dari setiap manusia yang perlu diperjuangkan. Hak merupakan sesuatu yang diperoleh manusia setelah menjalankan kewajibannya. Jika seseorang tidak menjalankan kewajiban, maka tuntutan hak sulit untuk dapat terpenuhi. Hak asasi adalah hak yang mutlak harus diterima oleh anggota warga negara oleh karena bawaan dari kodratnya yaitu makhluk ciptaan Tuhan. Hak asasi tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh negara. Hak itu misalnya hak untuk hidup.
Wajib adalah pertama sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak, kedua berarti sudah semestinya, harus. Adapun kewajiban berarti sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan, keharusan (KBBI 2001: 1266). Dalam masyarakat yang lebih besar seperti negara kewajiban warga negara untuk berbuat menjadi mutlak harus dilakukan. Dalam pernyataan yang sering dilontarkan Apa yang dapat diabdikan kepada negara/ masyarakat bukan apa yang pasti diperoleh dari bernegara/ masyarakat.
Dalam hubungannya dengan kehidupan bersama masyarakat, jika hak dan wajib telah dijalankan maka akan tercipta suatu keharmonisan, keselarasan dan keadilan. Keadilan dari unsur kata adil. Moral adil dapat berarti seimbang, tidak berat sebelah, selaras, serasi. Berbuat adil berarti melakukan perbuatan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Manifestasi keadilan dalam hidup bermasyarakat adalah keadilan sosial. Tercapainya keseimbangan, keselarasan, keharmonisan dan keserasian antara pelaksana kewajiban dengan terpenuhinya hak. Keadilan dapat terjadi pada individu dalam memanfaatkan kemampuan fisik dengan psikis, antara jasmani dan rohani, antara pribadi yang otonom dengan makhluk Tuhan yang sempurna. Diantara unsur-unsur jiwa manusia seperti Ratio, Rasa dan kehendak demikian pula antara undur materi/ tubuh yang berasal dari bumi, api, air, angin dengan unsur vegetatif/ tumbuh-tumbuhan yang hidup tidak berjiwa dan unsur hewan yaitu hidup berjiwa akan tetapi terbatas dalam nafsu dan kemampuan bergerak saja. Manusia harus adil terhadap diri sendiri, masyarakat dan Tuhan. Dengan demikian hidupnya akan bahagia dan sejahtera.
Etika dalam pertunjukan wayang
Etika di samping bersifat normatif juga bersifat praktis. Dalam pertunjukan wayang dengan serial Baratayuda banyak nilai etis mendapatkan porsi. Yang baik mendapatkan penghormatan, demikian juga yang jelek juga mendapatkan
tempatnya. Mengangkat kedua tangan dengan diletakan di depan dahi sambil menundukkan kepala salah satu bentuk tindakan etis. Yang lebih muda menghormati yang lebih tua usianya, anak buah tunduk pada pimpinan seperti prajurit maju perang diperintah senapati, senapati diperintah senapati agung dan senapati agung diperintah ratu. Etika harus sudah dihayati oleh setiap tokoh dan tidak memerlukan tindakan tertulis. Adakalanya jika sesuatu tokoh tidak melakukan perilaku tertentu akan dianggap tidak etis. Dalam pertunjukan wayang yang mengambil ceritera Baratayuda banyak tokoh yang melawan arus oleh karena menganggap suatu etika tertentu harus dipertahankan seperti contoh Senjaya berbalik arah melawan Karna, Wibisana berbalik membantu Rama, secara lahir Salya membantu Kurawa akan tetapi secara batin memihak Pandawa. Kode etik/ moral yang hampir sama dapat juga terjadi dihampir seluruh tokoh baik Kurawa maupun Pandawa misalnya norma menghormati senior, menghormati wanita, menghormati undang-undang, menghormati musuh.
Etika sebagai kaidah moral sangat lengkap dalam dunia pertunjukan wayang. Dalam pandangan hidup orang Jawa etika sering berkaitan dengan estetika dan juga logika. Yang dianggap baik biasanya benar dan yang benar adalah indah. Jadi yang baik adalah yang benar dan yang indah. Orang Jawa mempuyai pandangan bahwa Tuhan, masyarakat, alam semesta dan manusia merupakan satu kesatuan (Abdullah Ciptoprawiro,1986 : 22 dan M Suseno Etika Jawa, 1996 : 84 ). Dalam hidup selalu bertujuan untuk mencapai kebahagian yang sempurna. Langkah yang ditempuh dapat dilakukan dengan berbagai cara menurut kadar kemampuannya, seorang kesatria melalui darma, dengan laku darma kesatria akan mencapai kesempurnaan yaitu bersatu dengan Maha Pencipta. Untuk melaksanakan laku darma diperlukan berbagai tata laku etika dan dalam kehidupan seperti diilustrasikan dalam pertunjukan wayang (Abdullah 1986 : 31dan M. Suseno 1996 : 161). Dalam prinsip hidup orang Jawa ada dua dasar etika, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Rukun berarti ”berada dalam keadaan selaras”, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu( M. Suseno 1996 : 39). Tuntutan kerukunan merupakan kaidah penataan masyarakat yang menyeluruh. Segala yang dapat mengganggu keadaan rukun dan susana keselarasan harus dicegah. Suatu konlik akan terjadi bila kepentingan yang satu bertabrakan dengan kepentingan yang lain. Kurawa berperang melawan Pandawa oleh karena konflik kepentingan. Prinsip hormat berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkhis, keteratuaan yang hirarkhis bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu wajib untuk dipertahankan dan setiap orang wajib memperhankan keteraturan. Ambisi, persaingan, kelakuan yang kurang sopan dan keinginan untuk mencapai keuntungan pribadi dan kekuasaan merupakan sumber bagi segala perpecahan, ketidak selarasanan dan kontradiksi seharusnya dicegah dan dihilangkan ( M. Suseno 1996 : 60). Baratayuda merupakan usaha untuk menghilangkan perpecahan dan menjaga keteraturan agar tercapai keselarasan, keharmonisan hidup.
ALUR CERITERA GATUTKACA GUGUR
Adegan Pesanggrahan Bulupitu
Tokoh yang ada dalam adegan ini antara lain Prabu Duryudana, Prabu Salya, Narpati Karna, Patih Sengkuni,
Resi Krepa, dan Aswatama. Dan, inti pembicaraan adalah Prabu Duryudana membahas kematian putanya yaitu Lesmana,Jayadrata,dan Kurawa. Duryudana menggerutu terhadap Durna karena sudah janji untuk membunuh para Pandawa, ternyata gagal. Pada saat sedang saling menyalahkan datanglah Burisrawa. Maksud kedatangnya adalah, ingin menjadi senapati, sanggup untuk membunuh para Pandawa. Burisrawa segera minta ijin pada Prabu Duryudana untuk berangkat perang. Untuk memperkuat barisan, Burisrawa diikuti Raja sabrang Prabu Pratipa dan Prabu Partipeya serta Kurawa sepuluh,yaitu : Citradarma, Citrayudha, Upacitra, Carucitra, Jayasusena, Durmagati, Durmanasa, Durmatiya, Citraksa dan Citraksi menuju medan perang.
Iringan : gendhing ladrang Eling-eling,
laras slendro pathet manyura
Bk : y e t y . t e w . e t gy
-_ 1 y t e w e t y 1 6 5 3
2 3 5 6 2 2 . . 2 3 5 6
5 3 5 2 5 3 5 g6 _
Keberangkatan Burisrawa dan para prajurit diiringi dengan srepeg laras slendro pathet nem
Bk : . 2 3 g5
_ 6 5 6 5 2 3 5 g3 5 3 5 3
5 2 3 5 ! 6 5 3 6 5 3 g2
3 2 3 2 3 5 6 g5
Ngelik :
2 1 2 1 3 2 1 2 5 6 ! g6
! 6 5 3 2 3 2 1 3 2 6 5 3 2 3 g5 _
Suwuk : 3 2 3 5 3 6 3 g2
Adegan Pesanggrahan Hupalawiya
Tokoh dalam adegan ini antra laian Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, Sadewa, dan Raden Setyaki.
Inti pembicaraan dalam adegan ini adalah Prabu Puntadewa, Bima dan keluarga Pandawa merasa prihatin atas kematian Abimanyu dan para putra Madukara. Prabu Kresna beserta Punakawan selalu berusaha menghibur para Pandawa agar teguh dalam menghadapi cobaan. Tidak lama kemudian datanglah Gareng dan Petruk, memberi kabar bahwa Kurawa mengadakan peperangan tanpa Senapati dan yang kelihatan di depan barisan adalah Burisrawa. Para tokoh Pandawa ragu-ragu untuk memilih lawan yang dapat mengibangi Burisrawa. Mendengar Burisrawa maju dalam peperangan Setyaki sanggup untuk maju perang melawan Burisrawa. Para kerabat Pandawa mengingatkan Setyaki agar tidak tergesa-gesa melawan Burisrawa. Para kerabat Pandawa bermusyawarah apakah Setyaki pantas melawan Burisrawa. Untuk menguji kekuatan Setyaki kemudian Werkudara menguji kekuatan Setyaki dengan Gada Lukitasari dan Rujakpolo,dengan pukulan yang pertama dan kedua Setyaki sanggup menahannya,namun pada pukulan ke tiga Setyaki gemetaran. Untuk mempertebal keyakinan, Setyaki diberi sebutan Bima Kunting. Akhirnya Prabu Kresna mengijinkan Setyaki untuk menghadapi Burisrawa. Setyaki berangkat ke medan perang diikuti Setyaka, Pancawala serta prajurit Lesanpura.
Iringan : Ayak-ayak laras slendro pathet nem
Bk : gy
5 6 5 6 2 1 3 2 6 5 3 g5
_3 2 3 5 2 3 5 6 1 6 6 3 5 3 g2
5 6 5 3 5 6 5 3 2 1 2 6 2 1 2 g3
5 6 5 3 2 1 3 2 6 5 3 g5 _
Suwuk : 6 6 5 6 3 2 1 g6
Perang Gagal
Terjadilah perang antara pengikut Burisrawa dan pengikut Setyaki dengan sangat hebatnya. Dalam peperangan
Prabu Pratipa dan Prabu Partipeya terbunuh oleh Raden Setyaki dan Kurawa sepuluh antara lain : Citradarma, Citrayudha, Upacitra, Carucitra, Jayasusena, Durmagati, Durmanasa, Durmatiya, Citraksa dan Citraksi terbunuh oleh Setyaka dan Pancawala.
Burisrawa kemudian maju melawan Setyaki. Burisrawa membawa senjata yang bernama Rujak Beling Samber Mata sedangkan Setyaki memakai senjata Gada Wesi Kuning. Setyaki kalah dan dijepit kedua tangan Burisrawa hingga tidak bisa bergerak.
Prabu Kresna melihat Setyaki terpojok dengan posisi terjepit kedua tangan Burisrawa, segera memanggil Arjuna. Prabu Kresna mengajak Arjuna untuk bermain panah dengan maksud memberi pertolongan pada Setyaki. Arjuna melepaskan anak panah yang bernama Pasopati kearah Jaring laba-laba yang dipasang Kresna searah dengan posisi Burisrawa. Anak panah melesat dengan cepatnya dan mengenai bahu Burisrawa sampai putus. Cengkraman Burisrawa kepada Setyaki melemah.
Setyaki yang sudah tidak berdaya merasakan cengkeraman Burisrawa melemah, segera mengambil Gada Wesi Kuning, langsung di pukulkan ke leher Burisrawa sehingga tewas . Prabu Kresna melihat Burisrawa tewas kemudian mendekati Setyaki,menjelaskan bahwa Burisrawa sebelum terpukul senjata Godo Wesi Kuning terlebih dahulu sudah terkena panah Pasopati. Mendengar kata-kata Kresna, Raden Setyaki mengamuk hingga prajurit Astina mundur.
Iringan perang gagal dalam adegan ini adalah srepeg laras slendro nem
Adegan Pesanggrahan Bulupitu
Tokoh dalam adegan ini antara lain Duryudana, Karna, Kerpa, Aswatama.
Inti pembicaraan daam adegan ini adalah Prabu Duryudana menerima kabar bahwa Burisrawa dan sepuluh Kurawa tewas dimedan perang. Prabu Duryudana merasa sedih, kemudian Prabu Duryudana marah-marah kepada Senopati agung Dahyang Durna yang tidak bertanggungjawab. Prabu Duryudana juga marah kepada Resi Kerpa dan Aswatama. Mendengar kemarahan Prabu Duryudana,Resi Kerpa mambalas kemarahannya pada Adipati Karna. Terjadi silang pendapat. Kerpa menuduh Karna curang karena melihat keadaan yang kacau. Mendengar perkataan Kerpa, Karna merasa tersinggung. Karna menyatakan sanggup untuk menjadi senapati untuk membunuh para Pandawa. Karna meminta ijin Duryudana agar mertuanya yaitu Salya menjadi kusir kereta senapati. Kemudian Adipati Karna kembali ke Awangga meminta ijin kepada isterinya Surtikanti untuk maju perang melawan para pandawa.
Keberangkatan Adipati Karna diikuti Resi Kerpa, Aswatama, Arya Jurang Sena Anggajaksa dan Sarabasetya serta para prajurit kurawa. Di alun-alun Karna memanggil abdinya dari Awangga yang berwujud raksasa yang bernama Ditya Kala Lembusana serta para prajurit raksasa untuk melawan barisan Pandawa. Oleh karena perang berlangsung pada malam hari, maka para prajurit Astina membawa obor. Iringan dalam adegan ini adalah srepeg laras slendro pathet nem.
Adegan Pesanggrahan Hupalawiya
Tokoh dalam adegan ini antara lain Puntadewa, Kresna, Nakula, Sadewa dan Truthajumena dan gending untuk mengiringi adegan ini adalah Ayak ayak Slendro pathet sanga.
Inti pembicaraan adalah Kresna dan para Pandawa menerima berita bahwa Kurawa pada malam hari akan
mengadakan serangan dan serangan tersebut menggunakan para prajurit raksasa. Mendengar kabar tersebut Prabu Kresna segera memerintahkan Gatutkaca serta para prajurit Pringgodani untuk melawan raksasa-raksasa bantuan dari Awangga. Gatutkaca menerima perintah dari Kresna tidak dapat mengelak oleh karena sebagai prajurit yang tangguh untuk membela Negara. Dalam hati ini saatnya untuk menjadi senapati. Jika menang mendapatkan penghargaan dan jika mati termasuk mati kuncara sebagai pahlawan. Perang terjadi pada malam hari sehingga semua prajurit menggunakan suluh atau obor.
Iringan untuk adegan ini adalah Ayak-ayak laras slendro pathet sanga
Bk : g1
2 1 2 1 3 2 1 2 6 5 3 g5
! 6 5 6 5 3 5 6 5 3 5 6
3 5 6 g5 _
3 2 3 5 3 2 3 5 ! 6 5 6
5 3 2 g1
2 3 2 1 2 3 2 1 3 2 1 2
5 6 ! g6
5 3 5 6 5 3 5 6 2 3 2 1
6 5 3 g5 _
Suwuk : 2 3 2 1 6 5 3 g5
Terjadilah perang di malam hari yang sangat ramai. Anggajaksa dan Sarabasetya tewas oleh Brajalamatan dan Brajawikalpa. Adipati Karna memerintahkan para prajuritnya untuk melawan raksasa Pringgadani dan terjadilah perang yang menyebabkan banyak debu yang membuat semua obor mati sehingga keadaan menjadi gelap gulita. Gatutkaca bingung oleh karena keadaan gelap gulita, sehingga Gatutkaca terbang dan membabi buta, banyak prajurit yang tewas termasuk prajurit-prajuritnya sendiri. Melihat keadaan prajurit kacau, Karna melepaskan senjata Kunta Wijaya Danu ke arah Gatutkaca. Melihat senjata-senjata Kunta dilepaskan kearahnya, Gatutkaca langsung terbang ke langit yang sangat tinggi sehingga tidak terjangkau oleh senjata. Karna merasa gusar sehingga hampir semua senjata pemberian dewa dilepaskan. Dalam situasi yang kacau muncul arwah Kala Bendana menunut balas karena ikut terbunuh. Tak lama kemudian arwah Kala Bendana yakni paman Gatutkaca, mendapatkan kesempatan untuk menuntut janjinya. Kala Bendana segera menangkap senjata Kunta, dibawa menghadap Gatutkaca untuk ditancapkan kearah pusarnya. Senjata Kunta Wijaya Danu bersatu dengan wadahnya yang berada di perut Gatutkaca. Melalui sanggit yang logis tubuh Gatutkaca melayang jatuh mengenai kereta Karna sehingga hancur, Karna meloncat dan selamat.
Iringan pada saat Gatutkaca gugur adalah sampak tlutur laras slendro pathet sanga.
Bk : g5
_ 5 5 5 5 6 6 6 6 3 3 3 g3
1 1 1 1 5 5 5 5 1 1 1 g1
5 5 5 5 2 2 2 2 6 6 6 6
5 5 5 g5 _
Suwuk : 5 5 5 g5
Mengetahui Gatutkaca gugur, Werkudara mengamuk mengejar Karna. Melihat situasi gawat, Karna menghindar, lari melewati pakuwon Watugajah, tempat Dursasana menyelinap.
Iringan dalam adegan ini adalah srepeg laras slendro pathet sanga
Bk : g5
_ 6 5 6 5 2 3 2 g1
2 1 2 1 3 2 1 2 5 6 ! g6
! 6 ! 6 2 1 2 1 3 5 6 g5
6 5 6 5 3 2 1 g2
3 2 3 2 3 5 6 g5 _
Suwuk : 6 5 6 5 3 2 3 g5
Mendengar putranya yakni Raden Gatutkaca gugur, Dewi Arimbi ikut bela pati, menyusul dengan cara membakar diri.
Di Pakuwon Watugajah Dursasana dengan ditemani Wikata dan Wikateleng bersembunyi. Dursasana baru saja pergi dari kedaton Astina menungguhi Banowati. Oleh Banowati Dursasana dicaci maki oleh karena seorang kestria tidak berani maju perang. Dursasana takut kepada Duryudana oleh karena disuruh menjaga Banuwati. Dengan caci maki dan dituduh akan berselingkuh dengan Banuwati maka Dursasana kemudian pergi dari kedaton, tidak menjadi prajurit akan tetapi berlindung di Pakuwon Watugajah.
Bima/ Werkudara yang dihingapi amarah karena mengejar Karna tidak mengetahui bahwa Dursasana berada dalam jangkaunan tombaknya. Dursasana kemudian melembarkan lembing kearah tubuh Werkudara hingga terjatuh.Setelah sadar ada musuh yang melempar lembing, maka Werkudara segera melompat tepat menghujam Wikata dan Wikatateleng sehingga tewas. Dursasana berusaha berlari meningggalkan Werkudara. Dursasana menantang Werkudara untuk berlomba lari melompati sungai Cing cinggoling. Pada saat melompat sungai, penutup kepala Dursasana terbuka oleh karena tersandung arwah Sarka dan Tarka yang dahulu dibunuh secara keji oleh Dursasana. Werkudara melihat rambut Dursasana segera meremas hingga meronta-ronta. Jeritan Dursasana terdengar Kunti dan Drupadi. Keduanya datang ingin melepaskan nadar untuk keramas darah Dursasana oleh karena pernah dipermalukan. Dursasana akhirnya dibunuh oleh Werkudara.
Iringan untuk adegan ini adalah Ayak-ayak manyura.
Bk : g2
3 2 3 2 5 3 2 g1
_2 3 2 1 2 3 2 1 3 5 3 g2
3 5 3 2 5 3 5 g6
5 3 5 6 5 3 5 6 5 3 2 g1
2 3 2 1 3 5 3 2 5 3 5 g6
5 3 5 6 5 3 2 g1 _
Suwuk : 1 1 2 1 3 2 1 g6
Berita kematian Dursasana terdengar Duryudana di Pesanggrahan Bulupitu.Duryudana marah dan mencaci maki Durna dan Karna. Durna kemudian diangkat menjadi senapati utama.
Iringan untuk adegan ini adalah sampak manyura.
Bk : g2
_ 2 2 2 2 3 3 3 3 1 1 1 g1
1 1 1 1 2 2 2 2 6 6 6 g6
6 6 6 6 3 3 3 3 2 2 2 g2 _
Trusthajumna melawan Resi Durna, Prajurit melawan prajurit hingga tancep kayon. Pada lanjutan Baratayuda, dikenal lakon Durna Gugur.
ANALISIS LAKON
Setelah gugurnya Bisma, sebagai etika berperang, Darmayuda tidak lagi diindahkan bagi Kurawa maupun Pandawa. Dalam etika perang seperti yang diumumkan Bisma bahwa, pertama, perang dilakukan pada siang hari, malam untuk istirahat dan mengatur siasat. Kedua, perang harus saling berhadapan, tidak boleh menggunakan tipu daya/nglimpe dari belakang apalagi keroyokan. Ketiga, perang tidak boleh sewenang- wenang, senapati melawan senapati, musuh harus dihormati (Mantep Sudarsono, Bisma gugur, September 1999). Pada waktu Bisma masih menjadi senapati agung melawan Seta peraturan dilaksanakan dengan patuh, akan tetapi setelah Bisma gugur oleh senapati wanita Srikandi, semua prajurit terlalu
bersemangat dan tidak mentaati peraturan.
Durna sebagai pengganti senapati agung menggunakan siasat licik sehingga banyak ksatria Amarta yang terbunuh. Arjuna terlena dalam mengejar musuh demikian pula Bima terlalu jauh meninggalkan tegal Kurusetra untuk mengejar Kurawa.Durna menggunakan gelar Padmabyuha untuk menarik Bima dan Arjuna agar dapat menjauhi Puntadewa, dengan harapan dapat meringkusnya tanpa banyak lawan yang menghalangi. Melihat siasat Durna yang licik, Kresna memahami. Durna yang telah ditunjuk pengganti senapati agung serta mendapatkan restu Durga segera mengatur siasat perang dengan berbagai gelar perang.Akibat siasat Durna, Abimanyu terbunuh dengan seluruh tubuhnya penuh derita, dikeroyok Kurawa. Melihat kondisi meninggalnya Abimanyu, Arjuna marah dan ingin membunuh Jayajatra akan tetapi dihalangi tiga lapis prajurit Kurawa yaitu lapis pertama gelar Cakrabyuha yang dipimpin oleh Durmarsana, lapis kedua gelar Padmabyuha yang dipimpin oleh Durna sendiri sebagai senapati agung dan lapis ketiga gelar Sucimukhabyuha yang dipimpin oleh Duryudana, sedangkan barisan Pandawa hanya menggunakan gelar Cakrabyuha(Padmosoekotjo 1986;101). Dengan siasat yang jitu atas nasehat Kresna Arjuna dapat membunuh Jayajatra pada sore hari setelah siasat Kresna termakan oleh Jayajatra yang ingin melihat Arjuna bunuh diri.
Durna sebagai senapati agung dalam keadaan jiwanya kacau, pergi kehutan untuk meminta pertolongan Durga. Burisrawa tanpa ijin senapati agung mengatur prajurit kemudian memerintahkan maju untuk membasmi prajurit Amarta yang masih ada di tegal Kurusetra. Kubu Amarta dengan berat hati mengijikan Setyaki maju kemedan perang. Dengan Siasat Kresna Burisrawa dapat dikalahkan, mati oleh pukulan Wesi Kuning Setyaki. Karna mencapai puncak amarahnya oleh karena umpatan Krepa. Tanpa perintah senapati agung maju kemedan laga pada waktu malam dengan menggunakan Suluh/ obor. Oleh karena perang malam hari, Kresna memanggil Gatutkaca untuk menjadi senapati. Kresna berpesan jika menghadapi senjata Kunta Wijaya Danu diminta untuk menyingkir. Sebelum maju Gatutkaca memohon pamit ibunda Arimbi. Dimedan tegal Kurusetra Gatutkaca bertemu Karna memberikan penghormatan, mengingatkan kepada Karna oleh karena senapati agung Durna tidak tampak. Sebagai orang tua Karna marah terhadap keponakannya. Dalam medan perang tidak ada saudara yang ada adalah musuh.Terjadilah perang antara prajurit Awangga dibawah perintah Karna melawan prajurit Pringgondan di pimpin Gatutkaca. Oleh karena malam hari Karna merasa kewalahan dan merasa malu jika harus mundur. Karna kemudian menggunakan senjata Kunta Wijaya Danu pemberian Guru dewa(Sarotama, Gatutkaca lahir, TBS. Agustus 1997) dan sejata Wasewi pemberian Indra sebagai pengganti Kutang antrakusuma dan anting-anting pemberian dewa Surya sebagai tanda hasil perselingkuhan dengan Kunti. Oleh karena terkena senjata dari dewa gugurlah Gatutkaca sebagai pembela negara Amarta. Gatutkaca gugur sebagai pahlawan yang gagah berani.
Nilai etik yang dapat dipetik dari peristiwa lakon di antaranya adalah dalam pembinaan watak yang tegas bertanggung jawab terhadap tugas, penghormatan terhadap orang tua, raja dan negara. Tokoh Gatutkaca termasuk simbol kebijaksanaan hidup dalam pembinaan watak generasi muda. Sejak dilahirkan Gatutkaca telah berjasa kepada
negara dengan diberi kesempatan untuk menjadi jago dewata dalam menghacurkan perusak kahyangan yaitu Kala Pracona dan patih Sekipu yang ingin melamar Probosisni bidadari kahyangan. Menurut etika seorang tokoh raseksa harusnya kawin dengan raseksi, dewa dengan bidadari.Tidak diperbolehkan pelanggaran etika.
Untuk memutuskan tali pusar Gatutkaca, dalam lakon Gatutkaa lahir Arjuna harus bersusah payah pergi ke kahyangan memohon senjata, akan tetapi Karna telah terlebih dahulu datang dengan menyamar sebagai Arjuna sehingga terjadi perkelaian. Arjuna dapat merebut sarung sejata dan dengan sarung tali pusar Gatukaca dapat dipotong. Di sebalik peristiwa lakon Karna kemudian memperoleh senjata pemungkas untuk menghadap musuh sakti seperti Gatutkaca. Nama Gatutkaca juga sering disebut Kacanegara yang memiliki maksud pejuang negara yang tanpa pamrih. Semua tugas yang dibebankan kepada Gatutkaca pasti terlaksana dengan baik. Gatutkaca hampir dalam setiap lakon tidak pernah melawan arus, patuh, dan taat kepada negara. Banyak lakon yang melibatkan tokoh Gatutkaca seperti misalnya ”Gatutkaca Lahir”, ”Gatutkaca menjadi raja di Pringondani”, ”Hancurnya Topeng waja/ perebutan tapal batas alas Tunggarana”, ”Wahyu Tri Madya Daya” dan ”Gatutkaca gugur”.
Kresna memerintahkan Gatutkaca untuk maju kemedan perang melawan Karna, oleh karena pelanggaran etika yaitu perang pada waktu malam sehingga hanya Gatutkaca yang dapat memenuhi tugasnya. Gatutkaca sudah mendapatkan firasat atau kata hatinya, bahwa menghadapi musuh Karna adalah seperti sudah dekat ajalnya, karena Karna memiliki senjata dari pemberian dewa. Meskipun demikian Gatutkaca tetap berangkat, kematian akan dijumpai bagi setiap tokoh dan kematian sebagai ksatria dalam membela negara adalah terhormat sebagai pahlawan. Gatutkaca menjunjung tinggi nilai etika bahwa perintah raja adalah perintah Tuhan, kematian tidak dapat ditolak jika memang sudah digariskan. Dalam etika Gatutkaca mati ditangan Karna oleh karena dianggap sesuai dengan kodratnya. Karna lebih senior dari pada Gatutkaca, Karna lebih dekat dengan dewata daripada Gatutkaca dan untuk menjaga keseimbangan dan kerukunan Pandawa, Gatutkaca harus menjadi kurban, meskipun koban tidak sia-sia, justeru dengan kematiannya akan membawa nama yang harum sebagai kusuma bangsa. Dalam etika jawa sebenarnya Gatutkaca tidak akan mati dengan senjata Kunta Wijaya Danu oleh karena pertama senjata itu pemberian dewa dengan jalan yang tidak etis/curang, kedua Karna sendiri bukan tokoh yang suci oleh karena hasil perselingkuhan antara Kunti dengan dewa Surya sehingga kelahirannya dengan tidak wajar, ketiga Karna sendiri juga memegang teguh prinsip membela negara yang telah menghidupi sejak kecil hingga menjadi raja sehingga diperlukan cara yang etis pula agar Gatutkaca dapat meninggal dengan senjata Karna. Terdapat lakon yang mendahuluinya bahwa pada waktu memberantas Kala Pracona dan patih Sekipu Gatutkaca juga membunuh pamannya sendiri yaitu Kala Bendana. Dengan cara balas budi, relatif bersifat mistik dan secara etis untuk menghormati Kala Bendana paman Gatutkaca sendiri, maka Sejata Kunta Wijaya Danu milik Karna pemberian dewa dapat sampai diperut Gatutkaca, wadah bersatu dengan isinyanya. Senjata Kunda Wijaya Danu bersatu dengan kerangkanya dan kembali ke kahyangan, Gatutkaca mati sebagai pahlawan tanpa mengganggu pikiran orang jawa bahwa
senjata yang dilemparkan adalah hasil dari kejahatan. Kejahatan dalam pertunjukan wayang juga mendapatkan tempatnya sehingga kerukunan, kehormatan sebagai prinsip hidup dapat berjalan semestinya. Kedua prinsip hidup yaitu rukun dan hormat untuk mencapai keselarasan dan kesimbangan serta keharmonisan dunia selalu terjaga. Tokoh yang gugur dalam Baratayuda merupakan tokoh yang mulia baik dari segi Kurawa maupun Pandawa. Semua tokoh yang gugur di medan laga dianggap pahlawan dan dipercaya akan mendapatkan tempat yang baik di kahyangan. Bagi yang memperoleh kemenangan juga mendapatkan kebaikan dengan melakukan pembangunan watak/moral maupun fisik. Dengan demikian Baratayuda sering ditambahi sebutan Baratayuda Jayabinangun. Nilai etis yang pokok dalam lakon Baratyuda Suluhan adalah bahwa Gatutkaca yang sakti mandraguna, otot kawat tulang besi, kulit tembaga, tidak luka oleh sesuatu akhirnya hancur dengan senjata Kunta Wijaya Danu. Segala sesuatu tidak ada yang abadi didunia ini semua akan hancur sesuai dengan kodratnya.
PENUTUP
Dalam seni pertunjukan wayang dengan lakon Suluhan Gatutkaca gugur banyak mengandung nilai estetis maupun nilai etis. Mengandung nilai estetis karena menimbulkan rasa senang bagi penghayat, juga mengandung nilai etis karena disuguhi berbagai tuntunan moral yang perlu dicernak oleh setiap penontonnya. Karna menjadi senapati Kurawa adalah menjalankan kewajiban ksatria untuk membela negara, karena telah membesarkan dan memberikan kenikmatan dunia. Demikian pula Gatutkaca sebagai kesatria mempunyai kewajiban untuk mengikuti perintah raja demi menjaga keselamatan negaranya. Keduanya memiliki nilai yang utama. Banyak contoh seorang ksatria yang berpaling setelah sadar bahwa dirinya berada dalam keadaan yang salah seperti Senjaya yang juga harus mati dibanting Karna. Senjaya mati diharapkan meninbulkan kesan nilai etis, meninggal dengan cara yang mulia. Gatutkaca meninggal karena senjata Kunta Wijaya Danu, senjata dari dewa atas kecurangannya. Untuk menghilangkan kesan yang baik kalah dari yang buruk maka kematian Gatutkaca melalui tindakan arwah Kala Bendana yang masih pamannya sendiri yang terbunuh oleh Gatutkaca pada waktu terjadi ontran-ontran Kala Pracona dan patih Sekipu. Kala Bendana menuntut janji atas kekeliruan Gatutkaca yang membunuhnya. Dalam Baratayuda semua nilai etis dapat mendapatkan tempatnya. Barang siapa yang berhutang harus mengembalikan, barang siapa yang salah harus kalah, semua yang baik pasti mengalami kejayaan. Angkara murka akan sirna. Bagi tokoh Gatutkaca mati dalam membela negara adalah mati mulia dan dianggap sebagai pahlawan. Gatukaca gugur sebagai pahlawan dalam Baratayuda Suluhan. Tidak ada yang abadi semua yang ada di dunia ini. Nilai etis yang menonjol adalah meninggal dengan cara ksatria, meninggalkan nama yang harum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ciptoprawiro.1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Bambang M. dan Sumanto,Suyanto, Kuwato. 2007. Teori Pedalangan Bunga rampai Elemen Elemen Dasar Pakeliran. Surakarta; ISI.
Bambang Suwarno,dkk. 1996. “Estetika pertunjukan wayang”, Bunga rampai. Yogyakarta; UGM.
Hadikoesoemo, Soenandar. 1985. Filsafat Ke-Jawan Ungkapan lambang
ilmu gaib alam Seni-Budaya Peninggalan leluhur Jaman purba. Jakarta: Yudhagama Corporation.
Jazuli, M. 2003. Dalang, Negara, Masyarakat Sosiologi Pedalangan. Semarang: LIMPAD.
Kanti Waluyo. 1993. “Peranan Dhalang Wayang Kulit dalam Menyampaikan Pesan-pesan Pembangunan di Kabupaten Bantul Yogyakarta.” Disertasi S-3 Universitas Padjadjaran Bandung.
_________. 2000. Dunia Wayang Nilai Estetis, Sakralitas dan Ajaran Hidup.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Mujoko Joko Raharjo. 1997. ”Gatutkaca Gugur” dalam Kumpulan lakon.STSI: kumpulan kuliah.
Panuti Sudjiman, ed. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
Padmosoekatjo. 1985. Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita. Surabaya: PT. Citra Jaya Murti.
Pranoedjoe Poepaningrat. 2008. Nonton Wayang Dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta; Kedaulatan rakyat.
Randyo, M.2008.“ Makna tokoh Semar.” Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni UNNES: FPBS.
Sarwanto.2008.Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Dalam ritual Bersih Desa Kajian Fungsi Makna.Surakarta: ISI .Press dan CV Cendrawasih.
Slamet Suparno.2007.,Seni Pedalangan Gagrak Surakarta. Solo: ISI Press.
_______.Pakeliran Wayang Purwa Dari Ritus Sampai Pasar. Solo: ISI Press,2009.
Soediro Satoto.1985.Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara(Javanologi).
Soetarno.2005.Pertunjukan Wayang dan makna Simbolisme.Surakarta: STSI Press.
___________. 1988.“Unsur-unsur Estetika dalam Pedalangan Wayang Kulit Jawa Tengah.” Laporan Penelitian, kerjasama Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta dengan The Ford Foundation.
Solichin, Waluyo Sumari,2007. Mengenal Tokoh Wayang. Surakarta: CV. Asih Jaya .
SriMulyono.1982.Wayang Asal–usul, Filsafat dan masa Depannya.jakarta: Gunung Agung.
Sudjarwo, Heru, S., Sumari, Undung W.2010. Rupa dan karakter Wayang Purwa. Jakarta: kakilangit Kencana Prenada Media Group.
Sumardjo, J. 2000. Filsafat Seni. Bandung:ITB.
Suseno, M. Franz.1996. Etika Jawa. Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Sutopo, HB. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Suyanto. 2008. ”Metafisika Dalam Lakon Wahyu Makutharama Relevansinya Bagi Kepemimpinan”. Yogyakarta: UGM Disertasi.
Filed under: Spiritualitas Wayang Tagged: baratayuda, gatutkaca gugur