“Gong …. Bagong !
“Gong …. Bagong … Baaa Gooong !!!!’
“Heh sssssapi … hoh gatoooot … hih …. cenil sawut grontol tiwul …. weh wonten napa nDara. Ngageti mawon !!!
“Halah …. kowe kuwi dicritani ngeciprus nganti entek ababku, lha kok malah tidur seolah suaraku engkau anggap laksana untaian tembang penghantar tidur saja. Piye tho kamu ini Gong !!!
“Oh nggih …. walah tiwul … eh nyuwun ngapunten nDara, mohon maaf, taksih belum fokus pikiran saya nDara. Rasanya di tikar tadi banyak makanan jajan pasar terhidangkan, ada tiwul, gatot, sawut, cenil de el el. Sekarang kok sudah nggak ada tho nDara. Di makan nDara semuanya ya ?”
“Hush … trembelane kuwi ! Kamu tuh tadi tidur trus ngimpi Gong !”
“Kula tilem tho nDara ?”
“Lha iya gitu kok”
“Nggak terasa je nDara. Rasanya tadi saya sedang makan, tahu tahu kok makanannya habis semua.”
“Dasar kamu … lha wong ngimpi kok kontennya soal makan melulu. Sekali sekali lha mbok mimpi yang lain, semisal mimpi di datangi kekasih hatimu gitu”
“Lha wong kekasih hatiku sudah mati je nDara. Lha kalau didatangi dia, malah jadi takut no saya nDara, takut dijemput tho”
“Ya sudah … sudah melek lagi tho kamu Gong. Terus mau apa lagi nih Gong”
“Yo lanjut no nDara !!!”
“Tapi jangan ngorok lagi lho”
“Siap ndara, kula pesen bajigur rumiyin nggih”
<<< ooo >>>
“Pamadi, kemarilah mendekat kepada uwakmu.” Setelah kembali suasana tertata, dengan sabar Prabu Salya kembali berkata.
“Sampai sampai hampir aku tak dapat menahan keluarnya air mataku ketika aku tahu siapa kamu, anakku. Ternyata tak ada bedanya antara kamu dengan ayahmu dulu. Lima anak Pandu hanya kamu yang mirip ayahmu. Sama-sama tampan, tetapi ayahmu agak tengeng. Sementara kamu bagusmu tanpa cacat. Selamat atas kedatanganmu Pamadi.”
“Doa puji paduka, tiada halangan sehingga putra paduka dapat sampai di Negara Mandaraka. Bakti putranda semoga diterima, Sinuwun Mandaraka.”Jawab Pamade sambil bersembah kagok.
“Nanti dulu. Jangan kamu sebut aku Sinuwun. Kalau dilihat dari silsilah, aku kepada ramamu seharusnya menyebut kakak. Tetapi oleh kerena ayahmu memperistri adikku, Madrim, maka aku disebut lebih tua. Lah kamu dapat menyebutku uwa Prabu, begitu.
Demikianlah sidang menjadi agak cair dari kebekuan oleh peristiwa yang tidak disangka sangka. Demikian juga dikenalkannya putra pangeran pati Mandaraka, Rukmarata. Dijelaskannya semua tata keluarga antara Pamadi dan Rukmarata sehingga jelas silsilah antara kedua pihak.
Namun demikian masih ada lagi cerita dari Semar yang hendak disampaikan kepada Prabu Salya. Setelah mendapat ijin dari Prabu Salya, Semar kembali menyambung cerita tentang para satria yang diemongnya.
“Cerita ini dimulai ketika ada peristiwa Balai Sigala-gala. Pendawa dan Kurawa dipanggil oleh Adipati Drestarastra yang ketika itu menggantikan sementara tahta Pandu yang telah wafat. Pemanggilan kedua pihak Pendawa, anak Pandu, dan Kurawa, anak Drestarastra itu, adalah berkaitan dengan dibaginya warisan Pandu.
Oleh kecurangan Kurawa, Para Pandawa dinyatakan terbakar didalam bale penginapan yang dinamakan Bale Si Gala-Gala, termasuk ibundanya, Kunti.
Namun sebenarnya tidak. Mereka terselamatkan oleh binatang yang berjenis garangan. Binatang itu membuat liang panjang yang masuk ke kawasan Sapta Pratala. Disanalah Bratasena diambil menjadi menantu oleh penguasa Sapta Pratala Sang Hyang Anantaboga. Wanita putra Anantaboga yang diperistri Bratasane alias Wrekudara itulah yang bernama Nagagini.
Setelah sekian lama tinggal di Sapta Pratala, Pandawa segera melanjutkan perjalanan hingga tiba di desa Karangasem. Disanalah Pandawa menginap di rumah Kaki Wijrapa.
Keesokan harinya, Bratasena diadu dengan penguasa Ekacakra yang berujud raksasa bernama Prabu Baka. Bratasana menang menebus nyawa orang senegara, karena Prabu Baka adalah pemakan rakyatnya, raja kanibal.
Sekian lama tinggal di Ekacakra, Pamadi mengajak saya pergi, sekian lama setelah kami pergi, Kunti menangisi kepergian Permadi hingga Bratasena tidak sabar lagi dan pergi mencari adiknya itu. Setelah dicari sekian lama, ketemu ia di Negara Mandura. Ketika itu ia sedang menonton adu manusia antara Sura Tri Mantra, patih dari kadipaten Sengkapura anak haram dewi Maerah. Sedangkan Maerah adalah istri Prabu Basudewa. Ketika itu Bratasena diminta menandingi jago dari Sengkapura dan Bratasena menjadi jago Mandura. Sedangkan yang menjadi taruhan adalah Negara Mandura itu sendiri. Bratasena menang. Kangsa mati beserta Sura Tri Mantra. Dari situlah prabu Basudewa mengerti bahwa Bratasena dan Pamadi adalah kulit daging sendiri. Karana Kunti ibu Pendawa adalah adik Basudewa.
Malah, Pamadi hendak dijodohkan dengan putri Basudewa yang bernama Bratajaya atau Sumbadra. Sedangkan Bratasena mendapatkan gada kepunyaan Sura Tri Mantra yang bernama Gada Rujak Polo”.
Prabu Salya membiarkan Semar menuturkan ceritanya hingga selesai. Sebenarnyalah, memang Salya ingin sekali mengetahui riwayat dari kemenakan-kemenakan dan adik iparnya Kunti, yang sudah sekian lama dikabarkan telah sirna.
<< 00 >>
“Kembali ke peristiwa sekarang, momonganku membaca selebaran yang andika buat.” Kata Semar menjelaskan kenapa ia sampai di Mandaraka.
Sejenak Prabu Salya berpikir keras, bagaimana cara agar Pamade tidak ikut-ikutan mencari Herawati. Dalam hatinya terbersit suatu pemikiran, bagaimana agar salah satu anaknya dapat diperistri oleh Pamade tanpa harus mengorbankan kemenakannya itu. Maka ketika sepercik akal terbersit, berkata Prabu Salya kepada Pamade
“Pamadi, kalau kamu hendak beristri, kamu tidak usah ikut-ikutan mencari kakakmu Herawati. Aku masih mempunyai dua orang putri lagi. Yang hilang ya sudahlah biar orang lain saja yang mencari, kamu tinggal memilih putriku yang lain. Pilih satu diantaranya. Yang satu bernama Surtikanti sedangkan satunya bernama Banuwati. Walau Herawati hilang, tetapi bila nanti kamu menjadi menantuku, serasa dalam hati ini, Herawati telah pulang kembali.”
“Uwa Prabu apakah tidak menjadi nista bila satria yang sudah mempunyai niat dan kemauan menemukan kanda Herawati yang kemudian kemauan itu terhenti hanya karena menerima ganjaran berujud wanita. Dipandang dari darma kesatria tidaklah elok. Mohon maaf Uwa Prabu, kami memaksa untuk menetapkan ujud dari kewajiban sebagai satria, hamba tetap hendak mencari dimana adanya kanda Herawati, hingga tetes darah hamba yang terakhir”.
Walau sudah diduga sebelumnya, bahwa Pamadi akan menolak. Sebab ia teringat dengan sifat ayah Pamadi yang juga mempunyai watak yang demikian. Tetapi tak urung Salya sempat kaget juga. Maka katanya, “Jagat dewa batara, sukurlah bila nanti ketemu. Jangan lama lama ada di Mandaraka, segeralah memperingan kesusahan yang menimpaku, anakku”
“Mohon puji doa dari Uwa Prabu.” Pamadi segera menghaturkan sembah yang kemudian lengser turun dari balai agung.
Salya memberikan doa puji untuk kepergian Pamadi. Namun itu hanya terucap di mulut saja. Pada kenyataannya ia berat melepas Pamadi yang hendak menempuh bahaya. Dalam hati ia mempunyai rencana lain, bagaimana ia harus menahan kepergiannya. Caranya adalah menghadirkan kedua putrinya dihadapan Pamade. Dan dari rencana Salya ini, cinta kedua insan, Arjuna dan Banuwati bersemi.
Ket Gambar : Pandawa Dadu, Prabu Baka
Filed under: Rames semaR Tagged: arjuna, pandawa dadu