“Ndara Janaka, kula badhe tanglet, mau nanya nih ?”
“Ada apa Gong, tanyalah !”
“nDara menyesal nggak menjadi anak paling bontot dari ibu Kunti ?”
“Lha kok pertanyaanmu aneh tho, Gong. Oh ya .. aku tahu sekarang ! Gara-gara kamu dimarahin sama kakangmu Gareng dan Petruk kemarin tho ?”
“He he he … lha mentang-mentang jadi kakak, mereka bertindak semena-mena. Enak-enak lagi ngorok, dibangunin suruh macul. Apa nggak mangkel nDara !”
“Ya tujuan mereka kan baik, untuk membuat kamu jangan bermalas-malasan. Lagian pertanyaanmu tadi mengapa ditujukan kepadaku ?”
“Kali aja nDara Janaka mengalami hal serupa … he he he”
“Semua sudah ditakdirkan begitu Gong. Lagian jangan dikira enak jadi kakak lho Gong. Mereka harus bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Apalagi kalau jadi mbarep, dia adalah pengganti orang tua kalau bapak ibu kita sudah tidak ada, jadi tanggung jawabnya sangat berat. Jangan engkau melihat enak-enaknya saja menjadi seorang kakak, terus mrentah sakarepe dhewe.”
“Iya nDara, tapi bagi nDara Janaka, menjadi anak nomor tiga kan berarti tidak ada kans utuk menjadi raja tho nDara ?”
“Apa kalau menjadi raja itu enak Gong ? Bayangin Gong, semua rakyat di negara menjadi tanggung jawab seorang raja. Rakyat susah dan sengsara, rajalah yang seharusnya bertanggungjawab. Jadi jangan melihat hanya bahwa seorang raja mempunyai kewenangan untuk memerintah dan semua rakyat harus tunduk semua. Aku dapat memimpin di kasatriyan Madukara ini saja sudah cukup. Sebenarnya berat juga, tapi karena wilayahnya tidak seluas Amarta atau Astina sehingga tanggung jawab yang aku embanpun relatif lebih ringan”
“Benar juga nDara, tapi kan nDara pernah jadi raja juga di kahyangan dulu kan ?”
“Iya Gong, walaupun hanya sebentar tapi lumaya juga … he he he”
“Lumayan gimana nDara ?”
“Wis ra usah di bahas !”
“Tapi apa nggak ada niat untuk menjadi raja nDara ?”
“Bukankah turunanku, si Parikesit cucuku menjadi raja di Astina tho Gong.”
“Oh iya ya … Lha kalau gitu nDara Sumbadra itu hebat ya, nDara”
“Ya hebat dong, sudah cuantik sekale … lemah lembut … mencintai aku sepenuh hati dan melahirkan si Abimanyu. Wis pokoke lengkap”
“Menawi nDara Sumbadra niku memanggil njenengan kados pundi tho ?”
“Lha kok takon perkara seperti itu ?”
“Tanya saja nDara, barangkali nanti si Bawuk kalau jadi bojoku juga bisa niru-niru gitu … he he he”
“Kalau istriku Sumbodro memanggilku ya macem-macem tho Gong, tergantung sikonnya juga. Kalau lagi pas membahas si Abimanyu, manggilnya … Baapaakee kuuluupp … aku juga menjawab ibune kulup. Kalau pas resmi dihadapan orang banyak, dia sering mangggil … paangeeraaann haarjuunaa … kalau di dalam kamar … manggilnya aayaanggg … aku juga menjawab … ayo !”
“Lho kok beda yang terakhir itu … maksudnya gimana sih nDara ?”
“Ya gitu aja … kalau pas lagi marahan sama aku … kata-katanya tidak pelan lagi … cenderung cepat … he Janaka ! … akupun menjawabnya … apa Sum !”
“He he he … nDara niku ndagel mawon”
“Itulah kehidupan rumah tangga Gong, penuh warna, penuh suka duka, tapi yang jelas sangat membahagiakan. Kamu akan mengalaminya kelak !”
“Kalau nanti aku manggil si Bawuk itu apa ya ndara ? Ada ide ndara ?”
“Ayang mimih saja Gong !”
“Wah, wong ndeso wae kok panggilannya aneh-aneh, nDara”
“Ya terserah kamu saja Gong, yang penting kamu mencintai istrimu dan juga menghormatinya sebagai suatu pasangan yang hidup bersama untuk mencapai tujuan bersama yang mulia”
“Tapi aku salut sama nDara lho, dengan nDara Sumbodro itu terlihat begitu serasi dan harmonis”
“Telah panjang jalan yang kami lalui Gong. Sebenarnyalah itu adalah juga berkat doa restu dari para orang tua kami. Dulu waktu masih kecil aku dan Sumbodro tuh sebenarnya sudah dijodohkan sama Pakdhe Basudewa lho”
“Bagaimana itu ceritanya nDara ?”
Filed under: Critaku, Rames semaR Tagged: arjuna, sumbadra