Dalam lelapnya, sayup–sayup telinga Dewi Dresanala mendengar suara dua orang yang terdengar sedang membicarakan sesuatu. Secara samar, ia medengar namanya disebut – sebut oleh suara yang ditangkap oleh telinganya itu.
Dengan enggan, Dewi Dresanala membuka matanya yang seolah enggan untuk terbuka. Dengan gerakan malas, Dewi Dresanala mengusap kedua matanya dengan menggunakan punggung telapak tangan kanannya. Sesekali ia menarik nafas, dan mencoba untuk mengembalikan kesadaran dirinya secara perlahan. Ia mencoba untuk mengamati keadaan sekitar, tubuh Dewi Dresanala terbaring di sebuah peraduan yang tampak sangat mewah. Sebuah ranjang empuk yang terbuat dari bulu – bulung angsa, dan sebuah ranjang kayu yang penuh dengan ukiran.
Matanya menelusuri setiap sudut ruangan, ia menemukan bahwa dirinya sedang berada di dalam sebuah ruangan tertutup, sebuah kamar tidur yang cukup mewah, ia menegok ke sebelah kiri, dan mendapati sepasang daun jendela yang cukup besar sedang tertutup, tampak cahaya matahari menyusup masuk diantara daun pintu yang tertutup itu.
Bagaikan disadarkan dari mimpinya, dengan cepat Dewi Dresanala, memegang perutnya, ia meraba perutnya yang tampak buncit itu. Ia menarik nafas lega sembari mengelus perutnya yang mengandung itu, dengan gerakan perlahan, ia menggeser badannya, dan bergerak menuruni tempat peraduannya. Sebuah rasa nyeri tiba–tiba menyerang punggung Dewi Dresanala, dengan merintih tertahan Dewi Dresanala memegangi punggungnya yang berwarna kehitaman, dan lebam itu.
Sesaat dia mengurai kembali, dan mencoba untuk mengkilas balikkan asal–usul, dan penyebab punggungnya meradang itu. Dengan meneteskan air mata, Dewi Dresanala bergumam lirih, “Romo….. Maafkan Putrimu yang tidak tahu bakti ini……”
Dewi Dresanala menarik nafas panjang, lalu ia mengusap matanya yang masih basah itu. Dewi Dresanala merayap turun dari tempat peraduannya, ia merapikan rambutnya yang tergerai liar, ia menggelung, dan mengikat rambutnya dengan rapi, lalu ia bergerak mendekati daun jendela yang tertutup itu. Dengan gerakan halus, Dewi Dresanala mendorong sepasang daun jendela itu dengan lembut. Sinar matahari dengan cepat menyergap, dan memandikan tubuh Dresanala, dengan mata setengah tertutup, Dewi Dresanala tersenyum, sambil menarik nafas panjang.
Lalu ia mengamati keadaan yang tergambar di dalam bingkai jendela itu, ia melihat sebuah keindahan Marcapada yang tergambar jelas. Ia melihat seluruh pemandangan yang ada di hadapannya serba putih tertutup oleh salju tebal yang tampak bersahabat dengan sang Mentari, ia menatap ada beberapa pepohonan, dan tanaman yang mulai merekah indah di dalam gumulan sang salju, dengan tersenyum penuh kebahagiaan, Dewi Dresanala mendengar kicau burung yang tampak sangat menikmati hari yang begitu cerah itu.
Perlahan – lahan, Dewi Dresanala mendengar sepasang suara yang sedang berbicara mendekati daun pintu kamarnya, tersadarkan oleh sesuatu, Dewi Dresanala membalikkan badan, dan menatap ke arah daun pintu yang berderit pelan, dan terbuka.
Nampaklah dua sosok di antara daun pintu itu, dua sosok dengan perawakan yang betul – betul berbeda. Sosok yang membuka daun pintu itu memiliki perawakan seperti kera, yang sekujur badannya tertutup bulu – bulu putih, kedua bola matanya tampak dalam, dan bijak, ia mengenakan busana ala Resi yang serba putih, kecuali selembar kain yang mengikat pinggangnya. Sehelai kain dengan warna yang paling mencolok diantara lembaran kain putih yang membungkus tubuh sang Resi. Kain itu dikenal dengan nama Kain Poleng Bang Bintulu Aji… Kain dengan motif kotak – kotak yang memiliki empat warna (Merah, Kuning, Putih, dan Hitam).
Pada puncak kepalanya, sang Resi mengenakan sebuah mahkota yang dikenal dengan nama Gelung Minangkara, ia tidak mengenakan ikat kepala ala Resi yang berwarna serba putih. Ia menatap Dewi Dresanala dengan dalam, lalu ia tersenyum ke arah Dewi Dresanala, senyuman ramahnya diikuti oleh gerakan ekornya yang berwarna putih.
Sosok di sebelah Resi berwujud kera itu, memiliki tubuh yang bundar, dan pendek, dia mengenakan pakaian kebesaran khas bangsa Dewa, hanya ia tidak mengenakan mahkota pada kepalanya, ia hanya mengenakan surban putih untuk menutup puncak kepalanya itu. Sosok bertubuh pendek itu mempunyai wajah yang ramah, nan lucu. Melihat Dewi Dresanala telah terbangun, sosok itu segera bergerak cepat melalui kera putih itu, ia berhambur menuju Dewi Dresanala, senyumnya terkembang sangat lebar sekali, Dewi Dresanala mengamati ada beberapa titik air mata menetes di pelupuk matanya.
Ia bergerak dengan sangat cepat, dengan cepat ia merangsek ke arah Dewi Dresanala, dan memeluknya, “Oalah Ngger….. Ngger Ayu…. Kamu sudah sadar Ngger….. Kamu pingsan terhitung sudah tiga hari Ngger…. Pamanmu, dan Begawan Maruti mengkhawatirkan keadaanmu Ngger…..”
Dewi Dresanala, jatuh berlutut di hadapan sosok yang memeluknya itu, ia meraih kedua telapak tangan sosok itu, dan mencium punggung telapak tangan sosok itu dengan penuh hormat, “Salam hormat untuk Paman Bathara Narada…..”
Sosok yang bernama Bathara Narada itu tampak terisak, ia mengelus pipi Dewi Dresanala, dan berkata lirih, “Oalah Ngger….. Apa dosamu Ngger….. Sampai–sampai seluruh kahyangan geger….. Seluruh Kahyangan mencari mu Ngger…..”
Dewi Dresanala terhenyak mendengar perkataan Bathara Narada, ia mengamati Bathara Narada, kedua bola matanya tampak menciut, ia ketakutan. Sambil memegangi kandungannya, ia berkata, “Apa Paman Bathara berada disini untuk menangkap Dresanala Paman…..”
Bathara Narada sedikit terkejut mendengar perkataan Dewi Dresanala, ia menggelengkan kepala pelan, sebuah raut wajah penuh kelegaan terpancar dari wajah Dresanala. Bathara Narada hanya menundukkan kepala sedih, ia tidak sanggup berkata apa–apa lagi.
“Bayi itu harus segera dilahirkan Ngger…. Setelah bayi itu terlahir, kita bisa menyembunyikan bayi itu…. Kita sembunyikan supaya tidak diketahui oleh para Dewa…..”, sahut sosok berwujud kera putih itu datang mendekati Dewi Dresanala.
Dewi Dresanala mengeryitkan dahi, dia menatap ke arah sosok berwujud kera putih itu, lalu ia berkata dengan terbata, “Apa maksud Sang Resi Maruti berkata demikian? Dresanala belum siap untuk bersalin Sang Resi…. Masih dua masa lagi sebelum Dresanala melahirkan si jabang bayi Sang Resi…..”
Sang Resi yang bernama Maruti yang tak lain adalah Anoman segera menarik nafas dalam–dalam, ia menundukkan kepala, dan berkata pelan, “Kita bisa membantu persalinan mu Ngger…. Jika saya, dan Paman Bathara Narada menyatukan kekuatan…. Maka kami bisa membantu persalinan bayimu, biar bayimu belum genap usianya untuk dilahirkan….”
Dresanala menggelengkan kepala, ia memegangi perutnya yang membuncit, lalu ia berkata, “Tidak Sang Resi….. Tidak….. Jabang Bayi ini akan Dresanala bawa sampai waktunya persalinan tiba…..”
Dresanala mundur perlahan, ia mendekat ke arah jendela yang terbuka lebar itu, Anoman, dan Bathara Narada mengamati pergerakan Dewi Dresanala yang sangat aneh itu, lalu dengan sebuah kibasan tangan kanannya, sebuah kobaran api melesat dari telapak tangan Dresanala, kobaran api itu menghantam dinding tempat daun jendela itu berada. Sebuah ledakkan menghancurkan tembok di belakang Dewi Dresanala, dengan sebuah hentakan kaki ringan, Dewi Dresanala melayang menjauhi Anoman, dan Bathara Narada.
Anoman, dan Bathara Narada tampak terkaget–kaget, mereka bergerak bersamaan mencoba untuk meraih tubuh Dewi Dresanala, tapi apa daya, Anoman hanya berhasil meraih selendang Dewi Dresanala, yang terkoyak. Dengan sebuah hentakan Anoman melayang menyusul Dewi Dresanala, dan tanpa menoleh ke arah Bathara Narada, ia berteriak, “Keluarlah dari Kendalisada Paman Pukulun…. Bala tentara Dewa akan segera datang….. Keluarlah Paman Pukulun…. Biar Ulun yang mengejar Dresanala….”
Bathara Narada tampak salah tingkah mendengar perkataan Anoman yang bernada perintah itu, seolah enggan untuk berpikir panjang, Bathara Narada menghentakan kaki kanannya ke atas tanah, sebuah asap mengepul tebal menyelimuti tubuh Bathara Narada, sebuah kilatan cahaya berpendar diikuti dengan hilangnya tubuh Bathara Narada.
Dewi Dresanala melesat kencang, ia semakin menambah kecepatannya ketika ia menyadari kalau Anoman sedang mengejarnya. Anoman berteriak lantang, “Jangan lari Ngger!!!! Para Dewa sedang memburumu sekarang!!!! Jangan lari Ngger!!!!!”
Teriakan Anoman yang dihembuskan oleh angin, tidak dapat didengar oleh Dewi Dresanala yang tampak sangat kalut itu, satu pikiran yang terngiang di kepalanya hanyalah ‘Aku harus menyelamatkan jabang bayiku ini….’
Dewi Dresanala terus melesat dengan sangat kencang diikuti oleh Anoman di belakangnya, hingga sebuah kejadian terjadi. Sebuah rantai petir terlontar dari sebuah gumpalan awan, rantai petir itu dengan cepat menyambar tubuh Dewi Dresanala. Rantai Petir itu menghajar tubuh Dewi Dresanala tanpa ampun, ledakkan petir itu disertai dengan tubuh Dewi Dresanala yang mendadak menjadi lemas. Tubuh lemas Dresanala meluncur turun dengan cepat diantara awan, Anoman yang melihat kejadian itu segera membelalakkan mata, dengan cepat ia melesat turun menyusul tubuh Dresanala. Sekali lagi Anoman berhasil menangkap tubuh Dresanala, ia segera membopong tubuh lemah Dresanala.
Dengan gerakan ringan Anoman mendarat diatas padang rumput, ia membaringkan tubuh tak berdaya Dresanala diatas rerumputan.
Dengan menggeram penuh amarah, Anoman menatap nanar ke arah gumpalan awan besar yang kian mendekati dirinya. Sebuah cahaya terang yang memanjang menyeruak dari genggaman tangan kanannya, cahaya itu perlahan – lahan berubah menjadi sebuah senjata gada yang berwarna keemasan di tangan Anoman, ia mencengkram gada itu dengan kuat. Lalu ia berdiri, sambil berkacak pinggang, ia menatap penuh amarah ke arah gumpalan awan bersinar yang mendekati mereka itu.
Perlahan–lahan, awan itu terbuka, dari atas sana nampaklah sejumlah besar bala tentara langit yang siap dengan segala senjatanya. Bala tentara langit itu dipimpin oleh seorang Dewa berwajah tampan yang mengenakan baju perang berwarna perak, seluruh tubuhnya diselimuti oleh rantai – rantai petir, dialah Bathara Indra, Dewa Penguasa Petir yang memukul jatuh Dewi Dresanala.
“Keterlaluan kau Kakang!!!! Kau bertindak keji, dengan menghajar Dresanala yang sedang mengandung! Perbuatanmu tidak layak untuk dilakukan para Dewa!!!!”, bentak Anoman sambil mengacungkan telunjuk kirinya ke arah Bathara Indra.
Bathara Indra menatap Anoman dengan tajam, lalu ia berkata, “Ulun hanya melaksanakan perintah dari Kanjeng Bathara, Dimas…. Jadi Ulun harap Dimas Resi tidak ikut campur….”
Anoman tampak sangat marah, wajahnya berubah menjadi merah padam, ia menghantamkan gadanya ke atas tanah,suara benturan hebat terdengar diikuti dengan bumi yang bergoncang. “Bedebah!!!! Akulah lawanmu Kakang!!!!”, teriak Anoman, lalu ia menghentakan kaki kanannya ke atas tanah, tubuhnya melesat mendekati Bathara Indra.
Bathara Indra tersenyum kecil melihat serangan dari Anoman, tangan kanannya merogoh ke ikat pinggangnya, ia mengeluarkan sebuah jaring kecil berwarna keperakan dari ikat pinggangnya. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan jaring kecil itu ke arah Anoman.
Jaring kecil itu perlahan–lahan membesar, dengan cepat jaring–jaring itu membungkus, dan mengikat tubuh Anoman, Anoman tidak sempat untuk membela diri ketika jaring–jaring yang berwarna keperakan itu menyergap dirinya, gada Anoman jatuh ke atas bumi diikuti dengan suara dentuman yang kuat.
Tubuh Anoman meluncur jatuh dari atas, tubuhnya menghantam rerumputan. Dengan menggeram marah, Anoman berusaha merobek jaring – jaring itu dengan menggunakan kuku Pancanaka nya yang tiba–tiba menyeruak keluar dari bagian punggung kepalan tangannya. Tapi sia–sia, benang–benang halus yang terajut di jaring itu tampak sangat kuat, dan tidak dapat dikoyak. Anoman meronta marah, ia berteriak kesetanan, “Apa ini Kakang!!!! Kelicikan apa yang Kakang perbuat!!!”
Bathara Indra melompat ringan dari atas awan tempatnya berpijak, ia mendarat tepat di hadapan Anoman, dengan terkekeh ia berkata, “Maafkan Ulun kalau Ulun sampai harus mengikat Dimas dengan JalaSutra…… Tapi Ulun hanya menjalankan perintah dari Kanjeng Bathara…..”
Anoman berteriak – teriak marah kepada Bathara Indra, tapi seolah–olah Bathara Indra tidak peduli akan amukan Anoman. Dengan berjalan pelan ia mendekati tubuh Dewi Dresanala yang tergolek lemah akibat sengatan petir dari Bathara Indra.
Beberapa langkah sebelum Bathara Indra mendekati tubuh lemah Dewi Dresanala, gumpalan kabut berwarna kehitaman meluncur turun dari atas langit disertai dengan suara teriakan yang memekakkan telinga, dan menciutkan kalbu. Gumpalan kabut itu dengan cepat mendarat diantara tubuh Dewi Dresanala, kabut itu dengan cepat terbuka, dan menyeruak.
Bathara Indra tampak terkejut melihat dua sosok yang hadir di hadapannya itu, sesosok wanita yang sangat cantik dengan baju kebesaran, dan mahkota Dewa tampak menunduk mencengkram perut Dewi Dresanala, tepat disisinya berdiri sesosok pemuda tampan yang juga mengenakan busana, dan mahkota Dewa.
Anoman membelalakkan mata menatap kehadiran dua sosok itu, lalu ia berteriak, “Kakang Bathara!!!! Jangan biarkan Bathari Durga, dan Dewasrani mendekati tubuh Dresanala!!!!!”
Bathara Indra terhenyak dengan teriakan Anoman, ia segera menoleh ke arah Anoman, ia mengeryitkan dahi mencoba untuk memastikan bahwa teriakan itu berasal dari Anoman. Dengan cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah Bathari Durga yang tampak merapal mantra sambil memejamkan mata, dan tangan kanannya masih mencengkram kandungan Dresanala. Dengan gerakan cepat Bathara Indra segera berlari untuk mendekati Dewi Dresanala.
Dewasrani, sosok pemuda tampan disamping Bathari Durga yang masih sedang asyik merapal mantra itu, menyadari kedatangan Bathara Indra yang berlari mendekati mereka. Ia segera bergerak untuk menghalau Bathara Indra, tetapi sebuah keanehan terjadi…..
Tubuh Dewi Dresanala mendadak melayang ringan, perutnya mengeluarkan cahaya berwarna keemasan yang menyilaukan mata, Bathari Durga meringkuk ketakutan sambil kedua tangannya menutup matanya dari sinar yang tiba – tiba menyeruak keluar dari tubuh Dresanala.
Tiba–tiba tubuh Dresanala mengeluarkan sebuah letupan sinar, letupan itu menghantam tubuh Bathari Durga, Dewasrani, dan Bathar Indra. Tubuh mereka terlempar menjauhi tubuh Dewi Dresanala yang masih melayang ringan dibalut cahaya keemasan.
Rasa sakit menjalari tubuh Dewi Dresanala, kesadaran Dewi Dresanala segera kembali dalam sekejap, dengan masih setengah melayang, ia berteriak kesakitan.
Dewi Dresanala berteriak sejadi–jadinya, ia merintih dengan amat sangat keras. Rintihan Dewi Dresanala diikuti dengan cahaya keemasan yang kian menyilaukan mata, Anoman memicingkan matanya untuk memastikan apa yang terjadi dengan Dewi Dresanala. Cahaya keemasan itu berubah menjadi kobaran api yang melontarkan lidah–lidah api yang bergerak liar kesana kemari.
Lidah–lidah api itu membakar apapun yang disambarnya, dan apapun yang berada di dekatnya, Bathari Durga, dan Dewasrani tampak sangat ketakutan melihat kobaran api yang menggila itu. Bathara Indra berjalan merayap untuk mendekati tubuh Dewi Dresanala yang melayang, disertai dengan rintihannya, tapi apa daya tubuh Bathara Indra harus terlontar sekali lagi terkena cambukan lidah api yang dengan liar menghantam tubuhnya.
Mereka menyaksikan ada sebuah kobaran cahaya berwarna keemasan setara dengan gumpalan matahari yang menyeruak keluar dari tubuh Dewi Dresanala. Gumpalan yang berbentuk seperti bola api itu dengan cepat menggelinding, ia menyeret seluruh cahaya yang menyelimuti tubuh Dewi Dresanala yang kemudian menyeret lidah–lidah api yang tersebar merata diatas padang rumput yang kini telah dikepung api itu.
Bola api itu menggelinding dengan cepat mendekati Bathara Indra, dengan sigap tangan kanan Bathara Indra mengeluarkan sebuah cambuk yang terjalin dari rantai–rantai petir.
Ia melecutkan cambuknya itu ke arah bola api yang menggelinding itu, sebuah tumbukkan dua kekuatan terjadi, cambuk petir Bathara Indra pecah, dan hancur ketika menabrak bola api itu. Tubuh Bathara Indra terlontar sekali lagi, tubuhnya terbanting dengan keras diatas permukaan rumput yang kini telah mengering.
Dengan gerakan liar, bola api itu berbelok arah, ia menggelinding dengan cepat menuju ke arah Bathari Durga, dan Dewasrani. Dengan gerakan yang cepat, Dewasrani segera melontarkan jaring–jaring kecil berwarna keperakan, jaring–jaring yang bentuknya sama seperti jaring yang merajut, dan menyergap tubuh Anoman.
Dengan cepat jaring – jaring itu segera membungkus, dan membelenggu kobaran bola api itu. Kobaran bola api itu meronta dengan liarnya didalam belenggu itu. Bola api itu terus meronta berusaha untuk membebaskan diri, tetapi semakin kuat ia meronta, maka semakin erat pula jaring–jaring itu membelenggunya.
Perlahan–lahan gerakan liar bola api itu kian melemah, bola api itu menghentikan diri dari perlawanannya. Perlahan–lahan kobaran itu meredup, dan tampaklah sesosok janin berwarna kemerahan yang terbaring tak sadarkan diri dalam belenggu jaring JalaSutra itu. Dewasrani, dan Bathari Durga bergerak perlahan mendekati sosok janin yang tampak tak berdaya itu, mereka mengamati janin itu dengan seksama untuk memastikan kalau janin itu betul–betul telah di’aman’kan.
Setelah yakin bahwa janin itu telah tergeletak tak berdaya, dengan cepat Dewasrani melepaskan JalaSutra yang membelenggu tubuh janin itu, sesaat ia mengamati JalaSutra yang membelenggu bayi itu, ia melihat ada beberapa benang yang terkoyak karena kedahsyatan kekuatan dari sang jabang bayi.
Dengan perlahan Bathari Durga membungkus tubuh si jabang bayi dengan menggunakan seledangnya. Anoman menatap kejadian itu dengan penuh amarah, ia berteriak–teriak marah, sambil berkata, “Jangan biarkan mereka mengambil jabang bayi itu!!!! Kakang!!!! Jangan biarkan mereka!!!!!”
Bathara Indra menatap Anoman dengan pandangan kebingungan, lalu ia bergerak mendekati Bathari Durga, dan Dewasrani. Lalu ia berkata, “Apa yang akan kalian lakukan terhadap Dewi Dresanala?”
“Jangan khawatir Nak Mas Indra…. Dewi Dresanala, akan Ulun kawinkan dengan Dewasrani seperti janji pertunangan mereka……”, jawab Bathari Durga dengan tersenyum kecil menatap Bathara Indra, sambil tangannya menggendong sang jabang bayi yang tak sadarkan diri itu.
“Dan jabang bayi itu…..”, tanya Bathara Indra dengan penuh selidik.
Bathari Durga tersenyum bengis, lalu ia berkata, “Ulun akan menjadikan Bayi ini sebagai tawur untuk emas kawin Dewasrani, Putra Ulun….. Bayi ini akan Ulun lempar ke dalam kawah Candradimuka….”
Bathara Indra terpekik mendengar jawaban Bathari Durga, ia menatap Bathari Durga dengan pandangan tidak percaya, lalu ia berkata, “Dikorbankan? Apa itu tidak terlalu kejam?”
“Ulun kira sama saja…. Kau diutus untuk membawa Dewi Dresanala oleh Kanjeng Bathara Guru, dan ketika jabang bayi itu lahir…. Ulun kira, Bathara Guru juga akan melemparkan bayi ini ke dalam Candradimuka…. Karena bayi ini adalah petaka…”, jawab Bathari Durga dengan tersenyum sinis, lalu ia segera membalikkan badan, dan berjalan mendekati Dewi Dresanala yang tergolek lemah diatas rerumputan diikuti oleh Dewasrani.
“Kakang hentikan mereka!!!! Jangan biarkan mereka menjadikan bayi itu sebagai tawur!!!!”, teriak Anoman yang meronta – ronta penuh amarah.
Bathara Indra tidak sanggup berbuat apapun, pandangan matanya kosong, ia hanya sanggup mengamati bagaimana tubuh Dewi Dresanala, dan bayinya dibawa pergi oleh Bathari Durga, dan Dewasrani…. Dia tidak sanggup berkata – kata, dan tidak sanggup berbuat apapun…. Secara hati, dia merasa kalau perbuatan itu sudah di luar batas, dan ia harus bertindak untuk menyelamatkan Dresanala, dan Bayinya…. Tapi secara pikiran, dia tahu kalau dia harus menaati perintah, dan hukum dari Bathara Guru, dan dia pun tahu betul perangai Bathara Guru juga tidak akan jauh berbeda dari apa yang dilakukan oleh Bathari Durga, dan Dewasrani.
Dalam hati ia menangis karena tidak mampu berbuat apapun, ia merasa dadanya seperti dikoyak…. Tapi sekali lagi…. Ia tidak sanggup berbuat apa – apa…. Teriakan Anoman hanya terdengar sebagai pelengkap kesakitan hatinya saja…. Ia tidak mampu berbuat apa – apa…..
Kobaran api tampak membumbung tinggi di atas sana, kobaran api dengan liar dan ganas membakar, dan menggulung kumpulan awan di atasnya. Kobaran api bergejolak dengan penuh amarah, ia terus berkobar dan menggulung awan. Suara gemuruh kobaran api itu terdengar begitu mengancam, dan begitu menakutkan siapa pun yang mendengarnya. Sesekali bumi berguncang disertai dengan geraman yang dibawa oleh api itu…. Terlihat api berkali – kali dihembuskan, dan dimuntahkan oleh sebuah gunung yang menjulang tinggi di Barat sana. Itulah Kawah Candradimuka yang terkenal akan keganasannya.
Angin seolah – olah ikut murka, angin ikut menghantarkan hawa panas yang berasal dari amukan Kawah Candradimuka. Bau belerang yang menyengat bertebaran di sekitar Kawah Candradimuka, baunya begitu menusuk indra penciuman. Tampak dari kejauhan diatas langit, dua cahaya yang berpendar keemasan melesat dari arah timur menuju ke arah Kawah Candradimuka. Dua cahaya itu melesat bagaikan bintang jatuh yang menantang angin, dua cahaya itu mendarat perlahan persis di bawah kaki gunung Candradimuka, tepat di hadapan sebuah jembatan, atau jalan setapak yang berwarna kehitaman, yang terpahat rapi dari kaki gunung, hingga puncak kawah Candradimuka.
Perlahan – lahan kedua cahaya itu membentuk dua sosok, seorang sosok wanita dengan paras cantik namun mengerikan, sepasang taring tampak mencuat keluar dari bibirnya yang tampak lebar. Kedua tangan wanita itu saling bertaut tampak sedang menggendong sesuatu. Tepat berada di sisi kanan wanita itu, tampaklah sesosok laki – laki tampan dalam balutan busana yang sangat mewah menunjukkan sebuah busana kebesaran. Sesekali pandangan sang wanita yang penuh dengan kegelapan itu, menatap setiap ujung kaki gunung Kawah Candradimuka, seolah ia berusaha untuk memastikan bahwa mereka berdua adalah satu – satunya sosok yang ada disana. Setelah meyakinkan diri tidak ada sosok lain yang ada di sana kecuali mereka berdua, ia segera menyingkap kain penutup yang menyelubungi gendongannya itu.
Tampaklah sesosok jabang bayi dengan kulit berwarna kemerahan sedang tergolek tak sadarkan diri dalam kekangan sebuah jala tipis yang membungkus seluruh tubuh sang Jabang Bayi itu. Senyum bengis terkembang dari bibir wanita itu, sambil nanar matanya yang dipenuhi kegelapan menatap sang Bayi yang tanpa daya itu, lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah pemuda tampan yang berdiri tepat disisi kanannya.
“Semuanya berjalan sesuai rencana Ngger…. Sang Jabang Bayi Dresanala ini harus dilebur di dalam Kawah Candradimuka…. Sang Jabang Bayi pembawa masalah ini harus dilenyapkan dari Tri Buana Loka….”, kata sang Wanita itu sambil terkekeh pelan.
Sang pemuda tampan itu tidak menjawab, sekian detik ia beradu pandang dengan sang wanita itu, lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah jabang bayi yang ada di gendongan si wanita. Ia menatap bayi itu lama sekali, entah apa yang terjadi, tiba – tiba rasa takut yang amat sangat menyergap hatinya. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya menjadi pucat pasi, dan pandangan matanya menciut menyiratkan ketakutan yang amat sangat akan jabang bayi yang ada di gendongan sang Wanita itu.
Perlahan senyum memudar dari bibir sang Wanita, ia mengeryitkan dahi sambil menatap sang Pemuda itu dengan pandangan bingung, lalu ia berkata, “Ngger….. Angger Dewasrani Putra Sibu….. Ada apa Ngger…. Kenapa Angger tampak ragu, dan ketakutan….”
Pemuda yang bernama Dewasrani itu tampak terhenyak mendengar teguran dari wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Ibu nya sendiri yang bernama Bathari Durga. “Entahlah Kanjeng Sibu…. Ulun tiba – tiba dihinggapi oleh ketakutan yang luar biasa ketika menatap Jabang Bayi ini…. Seolah – olah Jabang Bayi ini kelak akan membahayakan Ulun….”
Bathari Durga sedikit terkesima akan jawaban Dewasrani putranya, lama ia terdiam menatap Dewasrani dalam – dalam. ”Tidak ada yang harus Angger khawatirkan…. Sebentar lagi, Jabang Bayi ini akan lebur, hancur, dan menyatu dalam kobaran api Kawah Candradimuka….. Daging… Tulang…. Dan Darahnya akan ditelan di dalam perut Candradimuka Ngger…. Tidak ada ketakutan, ataupun kekhawatiran Angger yang akan menjadi nyata…”, jawab Bathari Durga sambil tangan kanannya meraih tangan kanan Dewasrani. Ia menggandeng Dewasrani, dan mulai bergerak perlahan menaiki jalan setapak terjal yang berwarna kehitaman itu.
Dewasrani melangkah gontai mengikuti Bathari Durga, yang melangkah dengan penuh hati – hati melalui jalan setapak berwarna kehitaman itu. Beberapa saat, Dewasrani menyadari sebuah keanehan pada jalan setapak yang dipijak olehnya, dan oleh Ibu nya itu. Jalan itu tidak tampak seperti jalan setapak biasa, melainkan sebuah jalan yang terbuat, dan terjalin dari tubuh – tubuh raksasa yang telah menghitam, membatu, dan menjelma menjadi jalan berwarna pekat itu. Ia mengamati ada ratusan bahkan ribuan raksasa yang saling terjalin, dan menumpuk hingga membentuk sebuah jalan setapak hingga ke puncak kawah Candradimuka.
“Kanjeng Sibu….. Jalan apakah ini Kanjeng Sibu? Kenapa Ulun merasa bahwa jalan ini terbentuk dari tubuh – tubuh Raksasa yang telah membatu Sibu….”, kata Dewasrani.
Bathari Durga menghentikan langkah sejenak, ia menarik nafas panjang, lalu ia membalikkan badan menatap putranya, dan berkata, “Betul Ngger… Apa yang Angger liat betul adanya…. Jalan ini bernama Balagadewa…. Jalan yang terwujud dari tumpukan mayat Raksasa yang telah diubah oleh Kanjeng Ramanda mu; Kanjeng Bathara Guru menjadi sebuah jalan setapak menuju ke Kawah Candradimuka….”
“Apa yang terjadi Sibu…. Apa yang terjadi hingga Kanjeng Ramanda mengubah mereka menjadi jalan setapak?”, tanya Dewasrani sambil mengeryitkan dahi, dan menatap jalan Balagadewa dengan seksama.
“Ini berasal dari pertempuran di masa lalu Ngger… Antara Bangsa Dewa, dengan Bangsa Raksasa….”, jawab Bathari Durga.
Dewasrani, tidak menyahut jawaban Bathari Durga, ia masih tampak mengamati jalanan Balagadewa dengan seksama. Hingga Bathari Durga memecah keheningan, “Ngger…. Sudahkah keingintahuanmu atas Balagadewa terjawab? Kita masih ada perjalanan untuk dituju Ngger… Dan Kawah Candradimuka sudah sangat dekat….”
Dewasrani segera mengangkat kepalanya, menatap sang Ibu sejenak, kemudian ia melangkahkan kakinya kembali. Kali ini ia berjalan mendahului Bathari Durga, dari belakang Bathari Durga menatap punggung Putranya yang tampak sedang larut dalam pikirannya sendiri.
Cukup lama mereka berjalan menapaki Balagadewa, hingga mereka merasakan udara disana kian tidak bersahabat. Jalanan dipenuhi dengan abu yang bertaburan, dan melayang di udara. Bau belerang kian menyengat menyergap indra penciuman, bahkan kobaran panas kian terasa ketika mereka beberapa ratus kaki mendekati puncak Candradimuka.
Dewasrani mendongakkan kepalanya, ia melihat ada kobaran yang menderu keras membumbung tinggi membakar awan, dan menggulung awan. Kini mereka telah sampai di puncak Candradimuka, sebuah ceruk raksasa yang menyerupai sebuah telaga yang membara terpampang di hadapan mereka, lautan ombak panas membara bergulung – gulung dan menderu di kedalaman kawah itu. Lautan api itu sesekali memuntahkan asap, dan kobaran api yang tiada henti. Bathari Durga tampak tersenyum lebar sekali menatap telaga Kawah Candradimuka yang terus menerus bergejolak tanpa henti.
Dia tertawa terbahak – bahak, lalu ia mengangkat sang Jabang Bayi itu dengan kedua tangannya tinggi – tinggi diatas kepalanya. Lalu ia berteriak, “Wahai Candradimuka!!! Amarahmu akan segera terbayar!!! Api tidak akan menggulung awan!!! Deru gemuruh perutmu yang kelaparan, tidak akan mengguncang Marcapada lagi!!! Awan akan terbuka, telagamu akan kembali tenang seperti telaga Kaputren Kahyangan Kaendran yang elok!!! Biarlah Jabang Bayi pembawa petaka ini, mengakhiri semua amarahmu, dan rasa lapar mu!!!!!”
Setelah berteriak kencang, dengan gerakan cepat, Bathari Durga melepaskan jala yang membalut tubuh sang Jabang Bayi, ia melemparkan jala itu ke samping. Kembali ia mengangkat Jabang Bayi itu tinggi – tinggi, dan kembali berteriak, “Terimalah tawur ini untuk menggenapi rasa laparmu wahai Candradimuka!!!!”.
Dengan bengis Bathari Durga melemparkan raga sang Jabang Bayi itu ke dalam telaga Kawah Candradimuka. Kobaran api Candradimuka dengan cekatan menggulung tubuh sang Jabang Bayi, mereka melingkupi tubuh sang Jabang Bayi dengan kobaran apinya, dengan gerakan liar mereka membawa lari tubuh sang Jabang Bayi, dan menenggelamkan tubuh Sang Jabang Bayi di dalam telaga Kawah Candradimuka.
Api kawah bergerak liar bagaikan seorang Penari yang menari kegirangan, api Candradimuka bergemuruh panjang laksana sesosok Brahalasewu yang bersendawa panjang karena kekenyangan. Bathari Durga tertawa terbahak – bahak, ia mengangkat kedua tangannya menengadah ke atas langit, sambil tetap tertawa kesetanan.
Entahlah, kebahagiaan tidak terpancar dari Dewasrani. Ia berdiri membisu di samping Bathari Durga sambil matanya menatap kosong ke arah kawah Candradimuka, dan ia menyaksikan bagaimana keganasan Candradimuka menelan bulat – bulat raga Jabang Bayi tanpa dosa itu. Sayup – sayup telinganya mendengar ada sebuah suara desingan melintas diatas langit. Dengan gerakan cepat, Dewasrani menatap ke atas awan, diantara kobaran awan kemerahan itu ia melihat ada sebuah cahaya yang melesat dengan cepat.
Cahaya itu perlahan – lahan mendarat tepat di sisi Kawah Candradimuka di hadapan mereka, Dewasrani memicingkan mata ia berusaha untuk menatap sosok yang mendarat jauh di seberang bibir Kawah Candradimuka di hadapannya. Bathari Durga menghentikan tawanya, ia menatap sosok yang ditatap tajam oleh Dewasrani. Ia mengeryitkan dahi mencoba untuk menangkap bayangan dari sosok yang ada di hadapannya itu.
Dengan gerakan anggun, sosok itu tampak mengibaskan selendangnya. Dengan cepat, kabut dan asap yang menutupi dan menyelimuti tubuhnya terbuka. Tampaklah sesosok yang memiliki tubuh yang bundar, dan pendek, dia mengenakan pakaian kebesaran khas bangsa Dewa, ia mengenakan surban putih untuk menutup puncak kepalanya.
Bathari Durga, dan Dewasrani membelalakan mata menatap sosok yang hadir di hadapan mereka itu, sosok itu tampak memandang Dewasrani, dan Bathari Durga penuh dengan kekhawatiran. Lalu sosok itu berkata dengan suara rendah, dan terdengar tajam, “Dimana Jabang Bayi Dresanala, Nimas Durga?”
Bathari Durga tampak gemetar melihat sosok yang melontarkan tanya kepadanya, tampak nyali Bathari Durga menciut. Tapi ia menolak untuk tampil ragu di hadapan sosok ini, dengan sombongnya, ia menjawab sambil bibirnya bergetar, “Ulun sudah melemparkan Jabang Bayi Dresanala ke dalam Kawah Candradimuka, Kakang Narada!!! Bayi itu sudah tiada, raganya telah melebur di dalam perut Candradimuka…..”
Jawaban Bathari Durga amat mengagetkan sosok yang tidak lain adalah Bathara Narada, Tuwangga atau Perdana Menteri sekaligus Sesepuh Para Dewa. Tubuhnya bergoncang perlahan, ia melangkah mundur dengan gontai, lalu tubuhnya terjatuh dengan ditopang oleh kedua lututnya. Air mata tampak meleleh membasahi kedua pipinya….
“Maafkan Ulun Kakang Narada…. Tapi Kakang sudah terlambat! Bayi itu sudah Ulun jadikan mangsa keganasan Candradimuka!”, jawab Bathari Durga, sambil tersenyum bengis penuh kemenangan.
Perlahan Bathara Narada mengangkat kepalanya, ia menatap Bathari Durga, dan Dewasrani dengan tatapan penuh amarah. Lelehan air mata tetap mengalir keluar dari nanar matanya yang tampak sangat mengerikan itu. Bathari Durga dibuat sangat ketakutan, Dewasrani telah ciut nyalinya menatap pandangan Bathara Narada yang dipenuhi dengan kobaran amarah. Dengan gerakan mantap Bathara Narada segera berdiri, ia sangat marah seolah ia ingin melumatkan kedua sosok biadab yang ada di hadapannya itu. Tangannya mengepal tanda ia berusaha untuk mengendalikan amarahnya, tapi tampaknya gemuruh amarah di dadanya menolak untuk bersabar.
Amarah Bathara Narada diikuti dengan sebuah keanehan, kawah Candradimuka bergolak marah, ia mengguncangkan puncak nya. Sebuah gempa mengguncang Candradimuka diikuti dengan semburan api yang teramat dahsyat membumbung tinggi mencengkeram awan. Merasa diuntungkan dengan letupan Candradimuka, dengan cepat Bathari Durga meraih tangan Dewasrani. Dengan sebuah hentakan mereka melesat… Mereka kabur menjauhi amarah Candradimuka, dan Bathara Narada. Mereka terbang berlari bagaikan sepasang gagak yang ketakutan dikejar oleh seekor Garuda.
Bathara Narada memicingkan mata, ia berusaha untuk menguasai keadaan dan berusaha untuk mencari tahu keberadaan Bathari Durga, dan Dewasrani. Tetapi ia tidak sanggup untuk meraih mereka, karena entah kenapa seolah api Candradimuka berusaha untuk mengurungnya, dan meluapkan amarahnya pada Bathara Narada.
Api mengepung Bathara Narada dengan liarnya, Bathara Narada tampak berusaha untuk menguasai keadaan, tapi ia tidak mampu… Kobaran api tampak mengamuk kepadanya, perlahan – lahan matanya menangkap ada sebuah kobaran bola api raksasa diantara naungan api kawah Candradimuka yang bergejolak. Perlahan – lahan kobaran api yang mengurung Bathara Narada melesat menjauhi Bathara Narada, kobaran api itu bagaikan sebuah selendang yang beterbangan memasuki selubung bola api yang tampak melayang – layang itu.
Perlahan – lahan selubung bola api itu terbuka, tampaklah sesosok pemuda gagah nan tampan dengan tubuh telanjang berbalutkan kobaran api disana. Kedua bola mata pemuda itu berkobar, rambutnya berkibar – kibar laksana kobaran api unggun yang liar. Lama sekali dalam kobaran matanya ia menatap Bathara Narada penuh dengan amarah, dengan gerakan cepat dipenuhi dengan kobaran api ia meluncur turun untuk menyerang Bathara Narada dengan ganasnya.
Bathara Narada mundur beberapa langkah ke belakang, sebelum ia bersiap diri… Pemuda itu telah menyerangnya dengan bertubi – tubi, ia menyerang Bathara Narada tanpa ampun. Tampak Bathara Narada kewalahan menghadapi Pemuda yang ada di hadapannya itu, di saat Bathara Narada seakan tidak mampu menahan serangan bertubi – tubi dari pemuda itu. Pemuda itu berhasil memukul Bathara Narada, hingga Bathara Narada jatuh terdorong ke belakang.
Dengan gerakan cepat Pemuda itu terjun ke atas tubuh Bathara Narada, ia dengan cekatan pula segera menginjak dada Bathara Narada dengan telapak kaki kanannya yang telanjang. Ia mendekatkan diri ke Bathara Narada yang tergolek lemas dengan nafas yang tersengal – sengal, ia menatap Bathara Narada tajam – tajam, sebelum akhirnya kobaran api yang membara di tubuhnya perlahan – lahan meredup. Seolah – olah amarahnya sirna dalam sekejap, ketika ia menatap Bathara Narada.
Dengan gerakan kasar ia mengangkat kaki kanannya dari dada Bathara Narada, ia berkacak pinggang, menatap Bathara Narada yang berusaha untuk bangkit perlahan sambil tangannya memegang dadanya yang naik turun, dan tersengal – sengal. Ia menatap Pemuda itu dalam – dalam, sambil mengusap bibirnya yang dipenuhi darah ia berkata, “Aduh duh…. Sabar Ngger…. Sabar…..”
Pemuda itu mengangkat dagunya, lalu ia mengacungkan telunjuk tangan kanannya ke arah Bathara Narada, dan berkata dengan nada membentak, “Hei siapa Kisanak? Mana dua makhluk yang tadi melempar aku!!!! Kenapa Kisanak disini! Apa Kisanak kaki tangan mereka!?!”
Bathara Narada merapikan baju, dan kainnya, ia berdiri perlahan dengan sempoyongan. Nafasnya masih tersengal – sengal, telapak tangan kanannya memegang dadanya yang naik turun. Lalu ia berkata, “Mereka sudah lari Ngger…. Mereka sudah lari…. Ulun adalah Bathara Narada Ngger…. Tuwangga, dan Sesepuh para Dewa…. Ulun datang kesini untuk menyelamatkan Angger dari mereka…. Tapi Angger sudah dilempar ke dalam kawah waktu Ulun sampai disini….”
Pemuda itu menggeram penuh amarah, ia mengepalkan kedua tinjunya, dan berkata, “Aku akan kejar dua makhluk laknat itu!!! Akan kuseret mereka, dan akan kulempar tubuh mereka ke dalam kawah ini hidup – hidup!!!!”
“Sabar Ngger…. Sabar…. Angger jangan dipenuhi amarah dulu Ngger…. Ulun pasti akan membantu Angger…. Ulun akan menggugat untuk Angger….”, jawab Bathara Narada berusaha untuk menenangkan pemuda itu.
Perkataan Bathara Narada sedikit menenangkan pemuda itu, lalu dengan menatap penuh iba ke arah Bathara Narada, pemuda itu lalu berkata, “Siapa Aku?”
Bathara Narada menatap Pemuda itu dalam – dalam, lalu ia berkata; “Angger belum punya nama Ngger… Tapi melihat kesaktian Angger, dan Angger terlahir dari kobaran api Candradimuka…. Maka Ulun memberi Angger Nak Mas dengan sebutan Bambang Wisanggeni….. Bambang adalah nama yang lazim diberikan kepada seorang Putra yang terlahir di Pegunungan…. Wisanggeni memiliki makna Wisang yaitu Bisa, dan Geni yang berarti Api….”
Pemuda itu manggut – manggut mendengar perkataan Bathara Narada, dengan penuh kelembutan, dan kasih, Bathara Narada melepas jarik yang melingkar di pinggangnya. Ia membeber jarik itu, dan menyelimutkan jarik itu menutupi aurat sang Pemuda yang bernama WISANGGENI tersebut.
(Ini adalah sebuah cerita wayang carangan yang saya ambil utuh dari http://janaloka.wordpress.com/)
Filed under: Critaku, Rames semaR Tagged: arjuna, wisanggeni