Resi Suwandagni adalah brahmana di pertapaan Argasekar. Ia adalah putra kedua dari Resi Wisanggeni (dalam Serat Ramayana dikenal dengan nama Ricika). Adapun saudara sekandung Suwandagni adalah Jamadagni, bapak dari Ramaparasu. Resi Wisanggeni merupakan putra bungsu dari dua bersaudara putra Bagawan Dewatama, yang berarti adalah cucu Dewanggana, dan kalau diurutkan silsilahnya maka akan menuju kepada Bathara Surya.
Resi Suwandagni menikah dengan Dewi Darini, seorang hapsari keturunan bathara Sambujana, putra Sang Hyang Sambo. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra masing-masing bernama Bambang Sumantri dan Bambang Sukasarana atau Sukasrana. Sebutan Bambang adalah untuk menandakan sebagai putra seorang pendeta di gunung. Namun sungguh aneh, wujud mereka berdua bak bumi dan langit. Sumantri dikaruniai perawakan yang gagah tegap perkasa dan juga wajah yang sangat rupawan, sebaliknya Sukasrana bertubuh mungil, pendek dan memiliki banyak cacat tubuh serta berwujud raksasa (sering disebut sebagai buta bajang).
Namun perbedaan itu tidak mengurangi kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Resi Suwandagni sangat sayang kepada putra-putranya. Pendidikannya diarahkan kepada hal-hal yang bersifat kesantikan, kesaktian dan menanamkan rasa kebaktian kepada umat. Olah keprajuritan sangat diutamakan, sehingga kedua putranya sangat mendalami jiwa keprajuritan dan kepahlawanan. Sikap Sumantri kepada adiknya sebenarnyalah sangat menyayanginya, namun adakalanya muncul rasa malu pabila diketahui oleh orang lain tentang keadaan adiknya. Dan hal sebaliknya dimiliki Sukasarana, dia begitu mencintai kakaknya. Cinta kepada kakaknya tak tercela. Begitu ikhlash dirinya menyayangi kakaknya, bahkan melebihi sayangnya kepada diri sendiri. Kakaknya adalah segalanya bagi dirinya.
Hingga suatu hari, merasa dirinya sudah dewasa maka Sumantri ingin meluaskan pengalaman, mengamalkan ilmu yang dipelajari dan berniat untuk mengabdi kepada raja Maespati. Hal itu disampaikan kepada ayahnya dan memperoleh persetujuan. Mengetahui rencana kakaknya, Sukasarana pun minta persetujuan ayah dan kakaknya untuk ikut serta pergi ke Maespati. Namun tentu saja Sumantri merasa keberatan karena dianggapnya akan mengganggunya diperjalanan kelak. Dibujuknya sang adik untuk tinggal saja di pertapaan Argasekar untuk menemani ayah ibunya. Walau dengan berat hati, akhirnya Sukasarana mengiyakan namun sudah ditekadkan untuk mengikuti kakaknya secara sembunyi-sembunyi. Dalam benaknya terpikir, bagaimana hidupnya tanpa sang kakak berada di dekatnya atau minimal dapat melihat keadaan sang kakak walau secara tak berterang. Alangkah tersiksanya bila hanya bersendirian.
Bagaimanakah dan siapakah raja negara Maespati itu ? Raja-raja Maespati adalah keturunan dari Batara Surya. Raja Maespati yang pertama bergelar Prabu Herriya. Kemudian digantikan oleh Prabu Kartawirya dan yang terakhir adalah Prabu Arjunawijaya atau Arjuna sasrabahu. Prabu Arjunawijaya mempunyai julukan lain sebagai Arjuna sasrabahu karena pabila saat ber-tiwikrama maka menjadikannya “abahu sewu” (sasra bermakna seribu). Kata tiwikrama asal katanya adalah “triwikrama” yang berarti “yang berlangkah tiga” yaitu Wisnu. Jadi triwikrama itu adalah sebutan bagi Batara Wisnu yang bermakna menurut kepercayaan khalayak, Batara Wisnu mampu mengelilingi jagat hanya dengan melangkahkan kakinya sebanyak tiga langkah. Dan kata triwikrama, menurut sebagian pemahaman orang diartikan sebagai : berubah wujud yang sangat menakutkan (biasanya karena amarah), berupa wujud raksasa yang sangat besar.
Awalnya, Arjunawijaya, setelah menginjak masa dewasa diperintahkan oleh ayahnya untuk menikah namun tidak atau belum mau sehingga akhirnya dia malah diusir dari keraton. Arjunawijaya kemudian meninggalkan kerajaan untuk mengembara kemudian berdiam di suatu tempat untuk bertapa. Tempat itu adalah sebuah gua yang bernama Ringinputih. Tapanya Arjunawijaya begitu khusyu sehingga menimbulkan daya luar biasa disekelilingnya, setiap makhluk yang lewat di atas gua pasti akan jatuh karna tuah tapanya.
Diceritakan, Prabu Dasamuka raja Alengka ingin melamar Dewi Citranglangeni, putri dari Citrawirya raja di Tunjungpura. Lamarannya diterima namun sang Dewi Citranglangeni meminta persyaratan untuk dipenuhi yaitu “mustaka pandhita sewu”. Oleh karenanya kemudian Prabu Dasamuka memerintahkan abdi terkasihnya yang bernama Yaksamuka, untuk mencari persyaratan itu.
Yaksamuka kemudian menuju ke pertapaan-pertapaan dengan maksud memenggal leher para pandita untuk dikumpulkan kepalanya. Yang didatangi mula pertama kali adalah pertapaan dari Begawan Jumanten. Sewaktu niat itu hendak dilaksanakan, Yaksamuka mendapatkan perlawanan darii putra sang begawan yang bernama Bambang Kartanadi hingga jadilah perkelahian yang ramai. Cukup lama mereka bertarung hingga akhirnya Yaksamuka melarikan diri karena merasa bakal kalah. Oleh Bambang Kartanadi tidak didiamkan begitu saja, sehingga dia mengejar Yaksamuka.
Larinya Yaksamuka sampai di atas gua Ringinputih, dan seperti yang terjadi pada makhluk yang lain maka diapun tiada ampun jatuh tersungkur di pintu gua. Suara berdebum tadi mengganggu tapa Arjunawijaya sehingga dia kemudian menghentikan tapanya dan segera memeriksa apa yang terjadi. Melihat seorang raksasa yang terluka dan tergeletak di muka gua, maka segera diobati dan disembuhkanlah oleh Arjunawijaya. Setelah pulih kembali seperti sedia kala, Yaksamuka kemudian berniat mengabdikan diri kepada sang tapa sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.
Tidak lama kemudian datanglah Bambang Kartanadi sampai ke hadapan Arjunawijaya. Dengan halus dan sopan dimintanya sang tapa untuk memasrahkan Yaksamuka kepada dirinya. Namun Arjunawijaya menolaknya sehingga terjadilah perkelahian antara mereka dan akhirnya Bambang Kartanadi menyerah kalah dan tunduk takluk kepada sang tapa. Walaupun dengan hati tidak sreg karena mengabdi berdua dengan musuhnya Yaksamuka, namun Bambang Kartanadi tidak berani bertindak sembarangan.
Mendengar keterangan Yaksamuka tentang Dewi Citranglangeni yang hendak dilamar gustinya Dasamuka, tentang kecantikan rupanya, maka Arjunawijaya merasa tertarik dan memutuskan untuk menuju ke Tunjungpura. Kepergiannya diiringi oleh Yaksamuka dan Bambang Kartanadi. Dua orang yang pada dasarnya saling tidak cocok dan bermusuhan itu, pada suatu saat akhirnya berkelahi lagi hingga kemudian Yaksamuka dilukai kupingnya dan disuruh pulang ke Alengka. Sungguh naas nasib Yaksamuka. Saat melaporkan diri ke gustinya, bukannya dikasihani atau diberi hadiah, malah dirinya kemudian dibunuh oleh Dasamuka karena gagal melaksanakan tugasnya.
Lamaran Arjunawijaya diterima dengan baik oleh Dewi Citranglangeni dan ayahnya Prabu Citrawirya. Kemudian dinikahkanlah mereka berdua di kedaton Tunjungpura. Setelah beberapa hari kemudian, Arjunawijaya dengan memboyong Dewi Citranglangeni serta didampingi oleh Bambang Kartanadi, kembali ke Maespati. Dan karena telah mengikuti permintaan ayahnya yaitu telah menikah, maka tidak lama kemudian Arjunawijaya dinobatkan menjadi raja Maespati berjuluk Prabu Arjunawijaya, ya Prabu Arjuna sasrabahu.
Suatu malam disaat Sang Prabu tengah melaksanakan menyepi mengheningkan cipta seperti biasanya, datanglah dalam ciptanya Bathara Narada yang mewartakan demikian :
“Anak Prabu, ketahuilah ! Dewi Citrawati putri Magada penjelmaan dari Dewi Sri sekarang ini telah beranjak dewasa. Keelokan sang dewi sungguh tiada tara. Kecantikannya telah tersebar sampai ke ujung dunia. Hingga tidak heran pabila saat ini banyak sekali raja dan satria menginginkan sang dewi menjadi pendamping hidupnya. Namun ternyata sang dewi belum menjatuhkan pilihan hatinya. Belum ada satupun dari lamaran yang berkenan di hatinya. Dan yang ditolak, menyadari bahwa memang bukan jodohnya bersanding dengan pujaan hati. Namun ada seorang raja masih belum dipastikan lamarannya, ditolak atau diterima oleh raja Magada, walaupun sebenarnya Sang Dewi Citrawati telah menolaknya. Prabu Citragada tidak segera memutuskan karena mengkhawatirkan keamanan negara bila menolaknya. Raja itu adalah raja Widarba Prabu Darmawasesa yang terkenal memang kaya raya dan memiliki wadyabala yang banyak dan sangat kuat. Prabu Citragada sedang mengulur-ulur waktu dengan meminta Raja Widarba untuk menunggu hasil lamarannya dengan mendirikan pesanggrahan di tapal batas negara. Disampaikan bahwa dirinya tengah membujuk sang dewi untuk menerima lamaran itu. Untuk sementara siasat itu memang masih aman, namun pabila terlalu lama diulur tentu pada akhirnya akan berbahaya. Prabu Citragada berharap segera datang dewa penolong ! Pikirkan dan segeralah bertindak, ngger !”
Lenyap wujud Batara Narada dan tersadar Arjunawijaya dari hening ciptanya seolah terbangun dari mimpi.
(Versi lain menceritakan bahwa negri Maespati tengah dilanda bencana dan pagebluk, banyak penduduk negri pagi sakit sore telah meninggal dunia, sore sakit malam telah tiada, kekeringan melanda sehingga banyak petani gagal panen dan kelaparan. Sang Prabu kemudian memperoleh petunjuk bahwa segalanya akan dapat diakhiri pabila dirinya telah memperoleh istri penjelmaan Batara Sri yang menitis di diri Dewi Citrawati)
Filed under: Cerita Ramayana, Critaku Tagged: ramayana, sumantri